Powered By Blogger

Sabtu, 21 April 2012

SPI

Perjalanan sejarah sistem politik dan penegakan hukum Indonesia selama 62 tahun menunjukkan suatu bukti bahwa semata-mata konstitusi dalam wujud UUD tidak dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan sistem politik yang demokratis maupun penegakan hukum.

UUD 1945 telah berlaku di empat periode kepemerintahan, masa Kemerdekaan (1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998-Sekarang). Semuanya ternyata menunjukkan corak dan karakter kepemerintahan yang berbeda satu periode dengan periode lainnya.

Di masa kemerdekaan, meski berlaku tiga macam UUD (1945, RIS dan 1950) namun kehidupan sistem demokrasi dapat berjalan dan hukum dapat ditegakkan. Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 kembali berlaku dan dinyatakan penggunaan sistem Demokrasi Terpimpin, namun yang berlaku sistem otoritarian (Hatta, Demokrasi Kita, 1960). Buktinya, terjadi pembubaran partai politik yang tidak sejalan dengan keinginan pemerintah (yaitu, Masyumi dan PSI), media massa yang kritis dibredel, penangkapan dan penawanan lawan politik pemerintah tanpa proses hukum termasuk para pendiri partai mantan-mantan Perdana Menteri, mantan-mantan menteri, pemimpin ormas juga ulama. Sehingga hukum didominasi penguasa tunggal di masa itu.

Masa itu kemudian beralih kepada masa pemerintahan Orde Baru tahun 1966. Awal permulaan masa ini membawa dan menumbuhkan harapan baru sistem demokrasi dan penegakan hukum setelah rakyat bersama mahasiswa dan pelajar secara bergelombang turun ke jalan menentang kesewenang-wenagan PKI. Rakyat dan pemerintah bekerjasama menjalankan pemerintahan yang demokratis dan menegakan hukum dengan semboyan “kembali ke UUD 1945 dengan murni dan konsekuen”.

Suasana harmonis itu ternyata tidak berlangsung lama. Sejak dikeluarkannya UU No. 15 dan 16 Tahun 1969, tentang Pemilu dan tentang Susunan dan Kedudukan Lembaga Negara. Dari sini mulai nampak keinginan politik elit penguasa untuk menghimpun kekuatan dan meraih kemenganan mutlak pada pemilu yang sedianya akan diselenggarakan pada tahun 1970 ternyata baru dapat dilaksanakan tahun 1971, karena usaha penggalangan kekuatan lewat Golongan Karya (GOLKAR) memerlukan waktu cukup lama. Contoh, tahun 1970 pemerintah mencoba menggalang kekuatan mahasiswa dengan mengadakan Kongres Mahasiswa se-Indonesia di Bogor. Semula Departemen Dalam Negeri menghendaki terbentuknya satu wadah mahasiswa Indonesia dengan nama NUS (National Union Student) namun mayoritas mahasiswa tetap menghendaki pemerintahan mahasiswa (Student Government) dalam wadah Dewan Mahasiswa di masing-masing perguruan tinggi.

Akhirnya telah tercatat dalam sejarah, dari pemilu ke pemilu, kemenagan mutlak diraih oleh GOLKAR sebagai mesin politik pemerintah Orde Baru yang dikawal oleh ABRI. Seluruh Lembaga Negara, baik tinggi maupun tertinggi telah dikuasai, dari Presiden, Panglima Tertinggi sampai ke lurah dan kepala desa, bahkan sampai RT, RW.

Masa pemerintahan yang begitu panjang menjadi arena membungkam demokrasi dan menenggelamkan partisipasi masyarakat luas dalam hampir semua sektor kehidupan, sampai untuk membangun gedung-gedung SD di seluruh Indonesia harus lewat Inpres (instruksi presiden). Maka dapat disaksikan menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, ketika terjadi krisis moneter; ekonomi yang dibangun dengan stabilitas politik dan keamanan itu rontok seperti bangunan tanpa pondasi yang dilanda gempa bumi, rata dengan tanah!

Masa sekarang, Era Reformasi yang diawali dengan perubahan mendadak dari sistem politik otoriter ke sistem demokrasi. Saat pemerintahan transisi di bawah presiden BJ Habibie, sendi-sendi demokrasi berubah 180 derajat. Kebebasan membentuk partai politik, Lembaga-lembaga perwakilan bebas berbicara, Pers yang sebelumnya tercekam oleh ancaman pencabutan SIUP mendadak sontak dibebaskan tanpa SIUP. Rakyat bebas menyampaikan aspirasinya lewat demonstrasi.

Akibat kebebasan yang begitu tiba-tiba terjadilah euphoria politik di lingkungan elit politik baru dan lama. Terjadi kebebasan yang hampir-hampir berakibat tindakan-tindakan anarkis di kalangan masyarakat. Demokrasi tanpa persiapan dengan perangkat hukum yang melandasinya. Pengamat ada yang menyebut, di era Reformasi ini, sepertinya yang nampak masyarakat, sedangkan pemerintah tenggelam. Adapun di zaman Orde Baru yang tampak pemerintah sedangkan rakyatnya tenggelam.

Sistem pemerintahan negara yang didasarkan dalam undang-undang dasar 1945 adalah:

1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechsstaat)

Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekusaan belaka.

1. Sistem konstitusional

Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

1. Kekuasaan negara tertinggi ditangan majelis permusyawaratan rakyat

Majelis ini yang memegang kekuasaan yang tertinggi, sedangkan presiden harus menjalankan garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh majelis. Presiden yang diangkat oleh majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Beliau adalah ”mandataris” dari majelis, ia berwajib menjalankan putusan-putusan majelis.

1. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi dibawah majelis

Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan presiden.

1. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk undang-undang dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara. Presiden harus bekerja bersama-sama dengan dewan, akan tetapi presiden tidak bertanggung jawab kepada dewan, artinya kedudukan presiden tidak bergantung dari pada dewan, melainkan sejajar.

1. Menteri negara adalah pembantu presiden

Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden menangkat dan memberhntikan menteri-menteri negara. Kedudukannya tergantung dari presiden.

1. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas

Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan ”diktator”, ia bertanggung jawab kepada MPR, selain itu juga harus mendengarkan suara – suara DPR.

1. Kedudukan DPR adalah kuat

Angota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR. Oleh karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden dan jika dewan menganggap presiden melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau MPR, maka majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya dapat diminta pertanggung jawab presiden.

1. Menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa

Meskipun menteri negara kedudukannya bergantung kepada presiden, tetapi mereka bukan pagawai biasa karena menteri-menterilah yang menjalankan kekuasaan pemerintah dalam praktek.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membandingkan antara sistem pemerintahan yamg sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dengan kenyaatan sistem pemerintahan yang terjadi sekarang ini.

BAB II

PERMASALAHAN
2.1 Periode Menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia

Pada 6 Agustus 1945, 2 bom atom dijatuhkan ke dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Ini menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

7 Agustus 1945, BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Sementara itu, di Indonesia, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio pada tanggal 10 Agustus 1945, bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air pada tanggal 14 Agustus 1945, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.

Pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda.

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 mereka menculik Soekarno dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Jenderal Moichiro Yamamoto dan bermalam di kediaman Laksamana Muda Maeda Tadashi. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.

Mengetahui bahwa proklamasi tanpa pertumpahan darah telah tidak mungkin lagi, Soekarno, Hatta dan anggota PPKI lainnya malam itu juga rapat dan menyiapkan teks Proklamasi yang kemudian dibacakan pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.

Tentara Pembela Tanah Air, kelompok muda radikal, dan rakyat Jakarta mengorganisasi pertahanan di kediaman Soekarno. Selebaran kemudian dibagi-bagikan berisi tentang pengumuman proklamasi kemerdekaan. Adam Malik juga mengirim pesan singkat pengumuman Proklamasi ke luar negeri.
2.2 Pasca-Kemerdekaan
18 Agustus 1945, PPKI membentuk sebuah pemerintahan sementara dengan Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Piagam Jakarta yang memasukkan kata “Islam” di dalam sila pertama Pancasila, dihilangkan dari mukadimah konstitusi yang baru.

Republik Indonesia yang baru lahir ini terdiri 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Pada 22 Agustus 1945, Jepang mengumumkan mereka menyerah di depan umum di Jakarta. Jepang melucuti senjata mereka dan membubarkan PETA Dan Heiho. Banyak anggota kelompok ini yang belum mendengar tentang kemerdekaan.

23 Agustus 1945 Soekarno mengirimkan pesan radio pertama ke seluruh negeri. Badan Keamanan Rakyat, angkatan bersenjata Indonesia yang pertama mulai dibentuk dari bekas anggota PETA dan Heiho. Beberapa hari sebelumnya, beberapa batalion PETA telah diberitahu untuk membubarkan diri. Pada 29 Agustus 1945 Rancangan konstitusi bentukan PPKI yang telah diumumkan pada 18 Agustus 1945, ditetapkan sebagai UUD 45. Soekarno dan Hatta secara resmi diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. PPKI kemudian berubah nama menjadi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). KNIP ini adalah lembaga sementara yang bertugas sampai pemilu dilaksanakan. Pemerintahan Republik Indonesia yang baru, Kabinet Presidensial, mulai bertugas pada 31 Agustus.

2.3 Sistem Pemerintahan Tahun 1950-1959 (Pemerintahan Parlemen)

Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidentil menjadi parlemen. Dimana dalam sistem pemerintahan presidentil, presien memiki fungsi ganda, yaitu sebagai badan eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan legislatif. Era 1950-1959 ialah era dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.

Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.

Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.

Dewan Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.

Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante. Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini.

* 1950-1951 – Kabinet Natsir
* 1951-1952 – Kabinet Sukiman-Suwirjo
* 1952-1953 – Kabinet Wilopo
* 1953-1955 – Kabinet Ali Sastroamidjojo I
* 1955-1956 – Kabinet Burhanuddin Harahap
* 1956-1957 – Kabinet Ali Sastroamidjojo II
* 1957-1959 – Kabinet Djuanda

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Isi dari Dekrit Presiden tersebut ialah:

1. Pembentukan MPRS dan DPAS
2. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
3. Pembubaran Konstituante

2.4 Sistem Pemerintahan Tahun 1959-1968 (Demokrasi Terpimpin)

Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah Dekrit Presiden. Soekarno juga membubarkan Dewan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan “Kembali ke UUD’ 45″. Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.

Antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di “Suara Pemuda Indonesia”: Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalyon angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah “negara bebas”. Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk adat.

Era “Demokrasi Terpimpin”, yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
2.5 Sistem Pemerintahan Tahun 1968-1998 (Orde Baru)

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Pada 27 Maret 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB, dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat “dibuang” ke Pulau Buru. Sanksi non-kriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).

Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan “persatuan dan kesatuan bangsa”. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

* Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
* Sukses transmigrasi
* Sukses KB
* Sukses memerangi buta huruf
* Sukses swasembada pangan
* Pengangguran minimum
* Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
* Sukses Gerakan Wajib Belajar
* Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
* Sukses keamanan dalam negeri
* Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
* Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

* Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
* Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
* Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
* Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
* Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
* Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
* Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel
* Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “Penembakan Misterius” (petrus)
* Tidak ada rencana suksesi

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
2.6 Sistem Pemerintahan Tahun 1998-Sekarang (Reformasi)

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.

Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”. Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.

Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.

Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

BAB III

PEMBAHASAN

Secara historis, demokrasi di Indonesia telah berkali-kali mengalami perubahan. Diharapkan hal ini bisa mewujudkan demokrasi berbau indonesia meski konsep dasar mengadopsi teori demokrasi luar. Selangkah-demi langkah, upaya penyematan demokrasi sebagai salah satu kerangka berpikir kenegaraan terus dilakukan. Berikut ini adalah salah satu analisis dialektik-historis pada penerapan demokrasi di Indonesia.

3.1 Demokrasi Parlementer : Pluralitas Pembawa Bencana

Setelah era paska kemerdekaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang masih “muda” mencoba menerapkan konsep demokrasi parlementer di dalam kehidupan politiknya. Meskipun model demokrasi ini hancur lebur sebelum diterapkan dengan baik dan utuh akibat dekrit presiden tanggal 5 juli 1959, ini adalah proses awal demokrasi pemerintahan dan kekuasaan di Indonesia. Isu sistem demokrasi parlementer yang menetapkan Presiden sebagai kepala Negara konstitusional dan menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik sebenarnya telah dilandaskan oleh Moh. Hatta beberapa bulan setelah proklamasi. Maklumat Wakil Presiden (Wapres) X pada 16 Oktober 1945 menyatakan bahwa pemerintah Indonesia harus membangun sistem banyak partai dan menggusur kekuasaan rangkap presiden (sebagai penguasa eksekutif dan legislatif sekaligus) sebelum MPR dan DPR dibentuk. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pun difungsikan sebagai lembaga legislatif.

Dualisme pemerintahan yang terjadi di Indonesia setelah kemerdekaan (antara Belanda dan Indonesia sendiri) mengakibatkan rumusan sistem pemerintahan masih belum jelas. Keputusan Konferensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda tentang perubahan Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) ditengarai sebagai proyek pemerintah Belanda agar bisa terus mengontrol Indonesia. RIS sendiri terdiri dari lima belas negara bagian buatan Belanda, yang telah didudukinya selama tiga tahun. Menurut Hatta, bangsa Indonesia tidak mempunyai kedaulatan penuh jika masih melakukan kompromi dengan belanda soal sistem pemerintahan. Sebagian besar pemimpin Indonesia sepakat bahwa kompromi dengan pihak belanda bertolak belakang dengan cita-cita proklamasi. Karena itu, kompromi tersebut sebenarnya adalah strategi untuk lepas dari rongrongan belanda yang menolak proklamasi kemerdekaan Indonesia. Karena dalam pandangan Hatta, bentuk negara federal RIS tidak akan bersifat permanen karena bentuk yang sesungguhnya akan ditentukan konstituante hasil pemilihan umum. Dan, konstituante itu pulalah yang nantinya bertugas menyusun konstitusi baru.

Namun ini berakibat fatal, tawaran sistem parlementer ternyata mengakibat semrawutnya pemerintahan karena elemen-elemen pemerintahan merasa mempunyai andil untuk mengatur Negara sehingga menjadi tidak jelas “siapa mengatur siapa”. Pemilu pertama tahun 1955 yang diharapkan menjadi tonggak demokrasi sebenarnya salah satu pemicu peralihan demokrasi menjadi ultrademokrasi yang menjurus anarkisme. Pluralitas dan multi-partai yang menjadi jargon demokrasi parlementer berujung pada pertarungan ideologis partai yang sangat berpengaruh di Indonesia. Pada waktu itu, kekuatan ideologis dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yakni Islam, Nasionalis dan Sosialis. PKI yang sebelumnya runtuh akibat pemberontakan Madiun 1948 bangkit dengan cepat, malah berafiliasi dengan pihak nasionalis untuk menghadapi partai-partai Islam yang dikhawatirkan mendirikan Negara Islam. Konflik antar partai tidak bisa dielakkan, ini juga membias pada elit-elit politik yang bercokol di pemerintahan. DPR dan Konstituante yang dilahirkan setelah pemilu 1955, juga membuat keadaan internal pemerintahan semakin buruk. Pertikaian antarmiliter, pergolakan daerah melawan pusat, inflasi ekonomi dan masa depan Indonesia menjadi suram. Akhirnya, pada tanggal 5 Juli 1959 Sukarno mengeluarkan dekrit presiden dan menyatakan Konstituante dibubarkan serta UUD ’45 diberlakukan lagi. Inilah awal kehancuran demokrasi parlementer di bumi pertiwi dan bermulanya sistem demokrasi terpimpin.

3.2 Demokrasi Terpimpin (Orde Lama): Konstruk Ideologi Sosialis

Secara sederhana, Demokrasi Terpimpin bercirikan dominasi penuh dari presiden, peranan partai politik yang terbatas, pengaruh komunis yang semakin berkembang dan peranan ABRI yang meluas sebagai unsur sosial politik. Demokrasi ini dinamakan Sukarno dengan Manipol-Usdek (UUD 1945, Sosialisme ala Islam, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Bermula dari kekecewaan Sukarno pada sistem demokrasi liberal yang cenderung pluralis dan menyebabkan konflik berkepanjangan oleh elit-elit politik yang berbeda haluan ideologis. Dan berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sistem politik mulai berganti dengan nama Demokrasi Terpimpin. Dengan membubarkan Dewan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Demokrasi terpimpin dapat dikatakan sebagai demokrasi kekeluargaan tanpa anarkisme, liberalisme dan otokrasi diktator yang mendasarkan sistem pemerintahan pada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan yang sepuh, seorang tetua dan mengayomi. Tetapi sistem ini jugalah yang menyebabkan sukarno bertikai dengan sejumlah tokoh-tokoh nasionalis semacam Hatta, Natsir dan Syahrir. Perpecahan di tubuh pemerintahan semakin terlihat kentara akibat pemberlakuan sistem baru demokrasi ini. Baik pihak militer dan pihak nasionalis mulai menyangsikan kepemimpinan model ‘terpimpin’ yang diandalkan Sukarno. Hatta menilai istilah Demokrasi Terpimpin ini adalah nama lain dari sistem diktator. Sukarno sebagai penguasa tunggal didukung oleh aliansi yang rapuh, partai-partai yang tergabung dalam konsep NASAKOM (Nasionalis-Agamis-Komunis). Mereka mendukung Sukarno semata-mata karena mengikuti kehendak penguasa.

Konsep ini digagas Sukarno Muda pada 1926 dalam tulisan pertamanya Indonesia Muda: Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Ia melihat bahwa nasionalisme dan Islam merupakan paham-paham yang kurang tajam untuk menganalisis keadaan, karena itulah dibutuhkan fundamen marxisme untuk menyokong dua ideologi tersebut untuk membangun Indonesia. Satu sisi, sikap diktatorial yang terbentuk di demokrasi terpimpin ini sekilas mirip dengan cara pandang Lenin, pemimpin Uni Soviet kala Sukarno masih muda, tetapi ia sendiri memilih untuk tidak menyamakannya. Lenin mencapai tujuannya melalui golongan masyarakat proletar, sementara Sukarno melihat kaum proletar masih lemah, karena itu ia ingin mencapai revolusinya dengan konsepsi rakyat ini. Menurut Sukarno, masyarakat terbagi bukan pada kelas sosial ekonomi tetapi ideologilah yang membagi masyarakat dalam kelompok-kelompok sehingga mereka layaknya kekuatan massa yang memiliki perbedaan. Ini menyebabkan timbulnya gagasan Sukarno untuk menggabungkan pemimpin-peminpin tersebut dalam persatuan.

PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi Nasakom. Tetapi kedekatan dengan PKI malah menjadi bumerang tersendiri. Merasanya ideologinya mendapat angin segar dari pemerintahan Sukarno, serta merta pihak PKI melakukan ideologisasi besar-besaran dan pemberontakan menuju Indonesia komunis. Sehingga bencana nasional berupa G30S 1965 terjadi dan mengakhiri pwemwerintahan Sukarno yang diktator dengan model ‘terpimpin’nya. Pada 12 Maret 1966, PKI dibubarkan dan kekuasaan Sukarno dilucuti dan digantikan oleh Soeharto. .

3.3 Demokrasi Pancasila (Orde Baru): Totalitas Militer

Melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mulai berkuasa dan memperkenalkan sistem politik barunya yang disebut dengan Demokrasi Pancasila. Pemerintahan yang sering disebut dengan orde baru ini, secara formil berlandaskan pada Pancasila, UUD 1945, dan Tap MPRS. Orde baru berencana merubah kehidupan sosial dan politik dengan landasan ideal Pancasila dan UUD 1945. Jadi secara tidak langsung, Sukarno dan Soeharto sama-sama berpedoman pada UUD 1945. Rancangan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) adalah salah satu program besarnya untuk mewujudkan itu. Tahapan yang dijalani orde baru adalah merumuskan dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi Negara, sehingga pancasila membudaya di masyarakat. Ideologi pancasila bersumber pada cara pandang integralistik yang mengutamakan gagasan tentang Negara yang bersifat persatuan. Sehingga pancasila diformalkan menjadi satu-satunya asas bagi organisasi kekuatan politik dan organisasi keagamaan-kemasyarakatan lainnya. Dan kesetiaan kepada ideologi-ideologi selain pancasila disamakan dengan tindakan subversi. Di era ini, kekuatan politik bergeser pada militer, teknokrasi dan birokrasi. Gagasan dan ide membutuhkan langkah praktis untuk menyeimbangkan dan keseimbangan. Dan ini tidak terjadi pada masa demokrasi pancasila. Ia hanya menjadi sebatas konsep besar yang tidak diterapkan dengan utuh. Buktinya masih banyak penyelewengan yang ironisnya berkedok demokrasi di dalam pemerintah. Bisa diuraikan, masa-masa ini adalah di mana Negara dan rakyat berhadap-hadapan dan pemerintah sangat mendominasi. Selama rezim orde baru berkuasa, demokrasi pancasila yang dicanangkan dalam pengertian normatif dan empirik tidak pernah sejalan. Ia hanya menjadi slogan kosong. Ia tidak lebih baik dari dua model demokrasi sebelumnya karena penerapannya yang jauh dari kenyataan berlawanan dengan tujuan demokrasi sendiri. Orde Baru justru menghambat dan membelenggu kebebasan rakyat. Ia tidak sejalan dengan esensi dan substansi demokrasi. Kekuasaan menjadi sentralistis pada kepemimpinan Soeharto. Demokrasi baginya hanyalah alat untuk mengkristalisasikan kekuasaannya. Soeharto kembali menghadirkan ‘demokrasi terpimpin kostitusional’ model baru dengan melandaskan ideologi pancasila sebagai dasar dan falsafah demokrasi.

Selama tiga dasawarsa, pemerintahannya menjadi rezim yang sangat kuat. Pemilihan Umum tidak lagi menjadi sentral demokratisasi di Negara. Meski telah diadakan selama enam kali di masa Soeharto, Pemilu sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai demokratis. Masih terjadi dominasi satu partai yang sebenarnya dikontrol dan dikelola oleh Soeharto yang kekuasaannya didukung penuh oleh militer. Tidak ubahnya yang terjadi adalah ‘demokrasi’ yang membunuh demokrasi.

3.4 Demokrasi Reformasi

Soeharto tumbang karena bersatunya sebagian besar masyarakat untuk menurunkan kepemimpinan Soeharto yang diselubungi oleh KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan kecelakaaan sejarah lainnya yang berhubungan dengan Soeharto. Praktis, sejak lengsernya Soeharto demokrasi pancasila menemui jalan buntu. Indonesia mengalami era transisi setelah kudeta kekuasaan oleh rakyat. Ini mengakibatkan aturan main politik tidak menentu bahkan atura main dipertarungkan secara sengit antarpelaku politik. Pada masa ini, kekuasaan terbagi-bagi dan masing-masing lembaga politik diperebutkan. Kekuasaan tidak lagi sentralistis dan tunggal seperti yang terjadi di era sukarno dan soeharto. Pemilu Umum 1999 di masa presiden BJ. Habibie diikuti oleh 47 partai. Dan hasil pemilu, hanya 21 partai yang mendapatkan kursi parlemen. Dominasi-dominasi kekuasaan mulai terjadi kala itu, beberapa partai berkoalisi untuk beroposisi melawan partai-partai yang lebih dominant. Puncaknya adalah terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden bukan Megawati yang sebelumnya mendapatkan dukungan terbanyak. Nasibnya pun tragis karena diturunkan oleh kalangan yang memilihnya menjadi presiden. Hingga pucuk pimpinan dipegang oleh Bambang Yudhoyono, politik kepentingan para elit kekuasaan kerap terjadi dan ironisnya nama rakyat dijadikan tameng dan landasan sementara mereka tidak tahu menahu atas permainan politik kaum atas.

3.5 Analisa Sistem Pemerintahan Indonesia

Demokrasi di Indonesia, sepintas dapat kita lihat bahwa yang kalah akan mengikuti yang menang. Inilah yang menjadi gambaran proses awal pemberlakuan sistem demokrasi pada awal mulanya. Dengan proklamasi pada 17 Agustus 1945, secara otomatis Indonesia menginginkan kedaulatan penuh sebagai Negara. Bangsa Indonesia yang masih prematur belum bisa menciptakan konsepsi kenegaraan yang baik sehingga ia mengadopsi kebudayaan yang sepenuhnya berasal dari luar. Demokrasi liberal atau parlementer adalah model demokrasi yang masih cukup banyak digunakan oleh Negara-negara maju. Konsep demokrasi terpimpin Soekarno juga hanya sebuah representasi dari sistem diktator proletariatnya Lenin yang bersikap Marxis-Leninisme. Meski pada suatu kesempatan ia menyanggahnya sebagai model demokrasi yang Indonesia. Akibatnya, konsepsi demokrasi hanya menyentuh kepala-kepala intelektual yang berkuasa tidak pada golongan mayoritas yang cenderung “bodoh dan dibodohi.”
Perbaikan sistem yang telah banyak ditawarkan untuk mengatasi problematika demokrasi Indonesia yang dipandang kebablasan menyisakan pertanyaan. “Kenapa tawaran-tawaran yang diberikan tidak pernah berhasil?”

Setidaknya ada empat factor kunci sukses atau gagalnya transisi demokrasi. Yaitu bergantung pada komposisi elit politik, desain institusi politik, kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik di kalangan elit dan non-elit dan peran civil society (Azumardi Azra, 2002). Realitas yang terjadi saat ini adalah sentralitas kuasa demokrasi yang lebih mengacu pada elit politik yang mempunyai kesempatan untuk berpolitik “demokratis”. Paradigma yang ada sama sekali tidak menyentuh ranah rakyat. Elit politik yang dijadikan perwakilan suara rakyat bermain di dalam kedaulatan dan pemerintahan yang melibatkkan kekuasaan. Kesannya, rakyat sering melakukan demontrasi sebagai wajah kebebasan dengan anarkisme dan kekerasan yang berlebihan, apalagi reaksi tersebut sering ditengarai sebagai upaya kontrol kekuasaan pada rakyat.
Makna kata demokrasi yang berasal dari bahasa Yunani itu berarti kekuasaan rakyat. Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kekuasaan Negara tidak terletak pada individu layaknya sistem monarki atau kelompok seperti sistem aristokrat melainkan di tangan rakyat. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Serupa dengan lontaran pernyataan Montesquieu (Malaka: 1945), fungsi pemerintahan dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, kekuatan legislatif untuk memuat undang-undang. Kedua, kekuatan eksekutif untuk menjalankan undang-undang dan terakhir adalah kekuatan judikatif, untuk mengawasi undang-undang. Memang pada dasarnya, demokrasi mencakup lima kriteria, persamaan hak pilih, partisipasi efektif, pembeberan kebenaran, kontrol dan pencakupan, dengan arti masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Dan unsur yang paling berperan untuk menentukan kriteria demokrasi di atas adalah rakyat. Sehingga perlu dibaca kembali segala yang berhubungan dengan rakyat. Demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah demokrasi perwakilan. Suara rakyat diwakili oleh seseorang yang telah dipilih oleh rakyat sendiri. Karena itu sangat rentan sekali intervensi kekuasaan dan dominasi penguasa di dalam proses pemilihan wakil rakyat yang berlangsung sewaktu Pemilihan Umum. Sejak pemberlakuan demokrasi parlementer hingga sekarang, dapat dilihat dengan cermat bahwa pertentangan dan pertikaian ideologis partai yang sama-sama memiliki suara dominan sangatlah kental dan ini berandil membawa anggota-anggotanya ikut serta bertikai. Sistem multi partai waktu itu menjadi titik awal bencana, tidak berbeda jauh dengan sistem tiga partai pada era demokrasi pancasila yang sangat mengotori kebebasan masyarakat. Rakyat sendiri terpecah menjadi beberapa golongan yang sama-sama memiliki kekuatan. Dikotomi kekuasaan dan kuantitas adalah kecenderungan yang masih menguasai alam demokrasi Indonesia. Stratifikasi sosial masyarakat masih membias dan bisa menjadi ancaman perilaku demokrasi Indonesia. Hal ini bisa dikaitkan dengan ideologisasi komunisme yang terjadi sebelum dan sesudah kemerdekaan. Masyarakat Indonesia kelas bawah sangat mudah digaet oleh gerakan-gerakan komunis yang mengedepankan ekonomi sosialistik dan antitesa kapitalisme. Kaum Islam juga gampang ditarik ke kancah politik oleh mereka yang mengaku sebagai anggota partai Islam, seperti Masyumi. Sehingga kesimpulan yang didapat, masyarakat Indonesia, sangat mudah dipelintir dan dipermainkan oleh kekuasaan. Kebutuhan dan ketergantungan mereka menjadi alat penting mobilisasi rakyat yang akhirnya cenderung anarkis. Rakyat hanya akan menjadi alat perlawanan yang mengikuti pucuk pimpinan wadah atau institusi yang diikuti. Akhirnya, pemerintahan dikuasai oleh sistem “yang kuat yang menang” yang akan mengakibatkan suara-suara minoritas yang menginginkan perbaikan menjadi tertindas.

Dan sekarang, munculnya era reformasi, yang ditandai dengan runtuhnya rezim otoritas Soeharto dan adanya pemilihan umum tahun 1999. Dan tepat pada tanggal 21 Mei mendatang, genap sudah 10 tahun bangsa Indonesia menjalani sistem pemerintah seperti ini. Namun, sudah sekian lama reformasi dijalankan, masih belum tampak adanya perubahan mendasar pada berbagai bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti ekonomi, hukum dan politik. Selain itu, agenda reformasi 1998 pun masih belum tersentuh, seperti penghapusan dwi fungsi TNI, dan proses pengadilan Soeharto. Selain itu, pada sektor ekonomi sekarang ini terlihat semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang sulit mendapatkan pekerjaan karena kurang seriusnya pemerintah dalam melakukan program kebijakan perekenomian yang mendukung sektor real yaitu usaha kecil menengah

Selama sistem reformasi ini pulalah, sudah hampir empat kali amandemen UUD 1945 telah mengubah sendi-sendi hukum Indonesia. Melalu amandemen UUD 1945, terbentuk Mahkamah Konstitusi, lembaga tersebut telah memberikan ruang bagi warga negara menguji peraturan yang merugikan hak konstitusional mereka. Legislasi juga telah menghasilkan ratusan undang-undang baru, yang berusaha memberikan kepastian hukum untuk semua rakyat Indonesia. Pembentukan Komisi Yudisial juga memberikan ruang bagi pengawasan hakim. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai hasil reformasi juga berhasil menangkapi para koruptor. Namun, pada sisi lain, pemberantasan korupsi berkesan antiklimaks. Ditangkap dan dijebloskannya para koruptor ke penjara tak bisa menghilangkan kesan tebang pilih. Mereka yang ditangkap rata-rata koruptor yang tidak memiliki basis ekonomi dan politik kuat. Implementasi hukum dalam praktiknya hanya untuk kepentingan elite politik dan golongan tertentu. Kondisi demikian diperparah intervensi kekuasaan dan politik ke wilayah hukum. Sebagai contoh, ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan presiden Soeharto, peradilan pelanggaran hak asasi manusia, dan peradilan para konglomerat hitam. Kendala lainnya tugas dan peran KPK terbesar saat ini adalah soal pembuktian. Susahnya membuktikan sebuah kasus membuat KPK dituding tebang pilih. Secara umum KPK bekerja dengan dasar laporan masyarakat yang dianggap sangat mendesak dan menyedot perhatian publik, seperti kasus korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum

Agenda reformasi 1998 juga masih menyisahkan permasalahan terutama mengenai pencabutan dwifungsi TNI. Sampai sekarang, setelah 4 periode perubahan kepemimpinan mulai dari BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri bahkan Susilo Bambang Yudhoyono belum terlihat adanya perubahan reposisi militer secara substantif

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sistem pemerintahan negara yang didasarkan dalam undang-undang dasar 1945 adalah:

1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechsstaat)
2. Sistem konstitusional
3. Kekuasaan negara tertinggi ditangan majelis permusyawaratan rakyat
4. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi dibawah majelis
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
6. Menteri negara adalah pembantu presiden
7. Kekuasaan kepala negara
8. Tidak tak terbatas
9. Kedudukan DPR adalah kuat
10. Menteri – menteri negara bukan pegawai tinggi biasa

Dengan proklamasi pada 17 Agustus 1945, secara otomatis Indonesia menginginkan kedaulatan penuh sebagai Negara. Bangsa Indonesia yang masih prematur belum bisa menciptakan konsepsi kenegaraan yang baik sehingga ia mengadopsi kebudayaan yang sepenuhnya berasal dari luar. Demokrasi liberal atau parlementer adalah model demokrasi yang masih cukup banyak digunakan oleh Negara-negara maju. Konsep demokrasi terpimpin Soekarno juga hanya sebuah representasi dari sistem diktator proletariatnya Lenin yang bersikap Marxis-Leninisme. Perbaikan sistem yang telah banyak ditawarkan untuk mengatasi problematika demokrasi Indonesia yang dipandang kebablasan.

Setidaknya ada empat factor kunci sukses atau gagalnya transisi demokrasi. Yaitu bergantung pada komposisi elit politik, desain institusi politik, kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik di kalangan elit dan non-elit dan peran civil society (Azumardi Azra, 2002). Realitas yang terjadi saat ini adalah sentralitas kuasa demokrasi yang lebih mengacu pada elit politik yang mempunyai kesempatan untuk berpolitik “demokratis”.

4.2 Saran

Sudah saatnya, kita bersama-sama bergerak untuk mencapai angan demokrasi yang telah dicita-citakan oleh para pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh Indonesia. Unsur-unsur demokrasi yang kadang menjadi akar permasalahan harus bisa diselesaikan dan diperbaiki, karena konsep demokrasi bukan hak paten yang tidak bisa dirubah. Ia harus bersifat dinamis dan bisa mengikuti kultur sosial-politik-budaya Negara yang menggunakannya sebagai asas Negara. Usaha perubahan tersebut sebenarnya telah sering dilakukan dan sayangnya malah menjadi ancaman bukan kenyamanan. Rakyat perlu diperkuat kembali bahwa mereka bukan alat kekuasaan yang dengan mudah diatur ke sana ke mari. Elit penguasa dan rakyat harus bisa bekerja sama selama tujuan demokrasi menjadi patokan utama bernegara yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281959-1968%29
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281998-sekarang%29
3. http://209.85.175.104/search?q=cache:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikanlah komentarnya agar dapat berguna bagi yang lainnya