Powered By Blogger

Sabtu, 21 April 2012

SPI

Perjalanan sejarah sistem politik dan penegakan hukum Indonesia selama 62 tahun menunjukkan suatu bukti bahwa semata-mata konstitusi dalam wujud UUD tidak dapat dijadikan pegangan dalam kehidupan sistem politik yang demokratis maupun penegakan hukum.

UUD 1945 telah berlaku di empat periode kepemerintahan, masa Kemerdekaan (1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998-Sekarang). Semuanya ternyata menunjukkan corak dan karakter kepemerintahan yang berbeda satu periode dengan periode lainnya.

Di masa kemerdekaan, meski berlaku tiga macam UUD (1945, RIS dan 1950) namun kehidupan sistem demokrasi dapat berjalan dan hukum dapat ditegakkan. Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 kembali berlaku dan dinyatakan penggunaan sistem Demokrasi Terpimpin, namun yang berlaku sistem otoritarian (Hatta, Demokrasi Kita, 1960). Buktinya, terjadi pembubaran partai politik yang tidak sejalan dengan keinginan pemerintah (yaitu, Masyumi dan PSI), media massa yang kritis dibredel, penangkapan dan penawanan lawan politik pemerintah tanpa proses hukum termasuk para pendiri partai mantan-mantan Perdana Menteri, mantan-mantan menteri, pemimpin ormas juga ulama. Sehingga hukum didominasi penguasa tunggal di masa itu.

Masa itu kemudian beralih kepada masa pemerintahan Orde Baru tahun 1966. Awal permulaan masa ini membawa dan menumbuhkan harapan baru sistem demokrasi dan penegakan hukum setelah rakyat bersama mahasiswa dan pelajar secara bergelombang turun ke jalan menentang kesewenang-wenagan PKI. Rakyat dan pemerintah bekerjasama menjalankan pemerintahan yang demokratis dan menegakan hukum dengan semboyan “kembali ke UUD 1945 dengan murni dan konsekuen”.

Suasana harmonis itu ternyata tidak berlangsung lama. Sejak dikeluarkannya UU No. 15 dan 16 Tahun 1969, tentang Pemilu dan tentang Susunan dan Kedudukan Lembaga Negara. Dari sini mulai nampak keinginan politik elit penguasa untuk menghimpun kekuatan dan meraih kemenganan mutlak pada pemilu yang sedianya akan diselenggarakan pada tahun 1970 ternyata baru dapat dilaksanakan tahun 1971, karena usaha penggalangan kekuatan lewat Golongan Karya (GOLKAR) memerlukan waktu cukup lama. Contoh, tahun 1970 pemerintah mencoba menggalang kekuatan mahasiswa dengan mengadakan Kongres Mahasiswa se-Indonesia di Bogor. Semula Departemen Dalam Negeri menghendaki terbentuknya satu wadah mahasiswa Indonesia dengan nama NUS (National Union Student) namun mayoritas mahasiswa tetap menghendaki pemerintahan mahasiswa (Student Government) dalam wadah Dewan Mahasiswa di masing-masing perguruan tinggi.

Akhirnya telah tercatat dalam sejarah, dari pemilu ke pemilu, kemenagan mutlak diraih oleh GOLKAR sebagai mesin politik pemerintah Orde Baru yang dikawal oleh ABRI. Seluruh Lembaga Negara, baik tinggi maupun tertinggi telah dikuasai, dari Presiden, Panglima Tertinggi sampai ke lurah dan kepala desa, bahkan sampai RT, RW.

Masa pemerintahan yang begitu panjang menjadi arena membungkam demokrasi dan menenggelamkan partisipasi masyarakat luas dalam hampir semua sektor kehidupan, sampai untuk membangun gedung-gedung SD di seluruh Indonesia harus lewat Inpres (instruksi presiden). Maka dapat disaksikan menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, ketika terjadi krisis moneter; ekonomi yang dibangun dengan stabilitas politik dan keamanan itu rontok seperti bangunan tanpa pondasi yang dilanda gempa bumi, rata dengan tanah!

Masa sekarang, Era Reformasi yang diawali dengan perubahan mendadak dari sistem politik otoriter ke sistem demokrasi. Saat pemerintahan transisi di bawah presiden BJ Habibie, sendi-sendi demokrasi berubah 180 derajat. Kebebasan membentuk partai politik, Lembaga-lembaga perwakilan bebas berbicara, Pers yang sebelumnya tercekam oleh ancaman pencabutan SIUP mendadak sontak dibebaskan tanpa SIUP. Rakyat bebas menyampaikan aspirasinya lewat demonstrasi.

Akibat kebebasan yang begitu tiba-tiba terjadilah euphoria politik di lingkungan elit politik baru dan lama. Terjadi kebebasan yang hampir-hampir berakibat tindakan-tindakan anarkis di kalangan masyarakat. Demokrasi tanpa persiapan dengan perangkat hukum yang melandasinya. Pengamat ada yang menyebut, di era Reformasi ini, sepertinya yang nampak masyarakat, sedangkan pemerintah tenggelam. Adapun di zaman Orde Baru yang tampak pemerintah sedangkan rakyatnya tenggelam.

Sistem pemerintahan negara yang didasarkan dalam undang-undang dasar 1945 adalah:

1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechsstaat)

Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekusaan belaka.

1. Sistem konstitusional

Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

1. Kekuasaan negara tertinggi ditangan majelis permusyawaratan rakyat

Majelis ini yang memegang kekuasaan yang tertinggi, sedangkan presiden harus menjalankan garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh majelis. Presiden yang diangkat oleh majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Beliau adalah ”mandataris” dari majelis, ia berwajib menjalankan putusan-putusan majelis.

1. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi dibawah majelis

Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan presiden.

1. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk undang-undang dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara. Presiden harus bekerja bersama-sama dengan dewan, akan tetapi presiden tidak bertanggung jawab kepada dewan, artinya kedudukan presiden tidak bergantung dari pada dewan, melainkan sejajar.

1. Menteri negara adalah pembantu presiden

Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden menangkat dan memberhntikan menteri-menteri negara. Kedudukannya tergantung dari presiden.

1. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas

Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan ”diktator”, ia bertanggung jawab kepada MPR, selain itu juga harus mendengarkan suara – suara DPR.

1. Kedudukan DPR adalah kuat

Angota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR. Oleh karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden dan jika dewan menganggap presiden melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau MPR, maka majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya dapat diminta pertanggung jawab presiden.

1. Menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa

Meskipun menteri negara kedudukannya bergantung kepada presiden, tetapi mereka bukan pagawai biasa karena menteri-menterilah yang menjalankan kekuasaan pemerintah dalam praktek.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membandingkan antara sistem pemerintahan yamg sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dengan kenyaatan sistem pemerintahan yang terjadi sekarang ini.

BAB II

PERMASALAHAN
2.1 Periode Menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia

Pada 6 Agustus 1945, 2 bom atom dijatuhkan ke dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Ini menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

7 Agustus 1945, BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Sementara itu, di Indonesia, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio pada tanggal 10 Agustus 1945, bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air pada tanggal 14 Agustus 1945, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.

Pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda.

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 mereka menculik Soekarno dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Jenderal Moichiro Yamamoto dan bermalam di kediaman Laksamana Muda Maeda Tadashi. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.

Mengetahui bahwa proklamasi tanpa pertumpahan darah telah tidak mungkin lagi, Soekarno, Hatta dan anggota PPKI lainnya malam itu juga rapat dan menyiapkan teks Proklamasi yang kemudian dibacakan pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.

Tentara Pembela Tanah Air, kelompok muda radikal, dan rakyat Jakarta mengorganisasi pertahanan di kediaman Soekarno. Selebaran kemudian dibagi-bagikan berisi tentang pengumuman proklamasi kemerdekaan. Adam Malik juga mengirim pesan singkat pengumuman Proklamasi ke luar negeri.
2.2 Pasca-Kemerdekaan
18 Agustus 1945, PPKI membentuk sebuah pemerintahan sementara dengan Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Piagam Jakarta yang memasukkan kata “Islam” di dalam sila pertama Pancasila, dihilangkan dari mukadimah konstitusi yang baru.

Republik Indonesia yang baru lahir ini terdiri 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Pada 22 Agustus 1945, Jepang mengumumkan mereka menyerah di depan umum di Jakarta. Jepang melucuti senjata mereka dan membubarkan PETA Dan Heiho. Banyak anggota kelompok ini yang belum mendengar tentang kemerdekaan.

23 Agustus 1945 Soekarno mengirimkan pesan radio pertama ke seluruh negeri. Badan Keamanan Rakyat, angkatan bersenjata Indonesia yang pertama mulai dibentuk dari bekas anggota PETA dan Heiho. Beberapa hari sebelumnya, beberapa batalion PETA telah diberitahu untuk membubarkan diri. Pada 29 Agustus 1945 Rancangan konstitusi bentukan PPKI yang telah diumumkan pada 18 Agustus 1945, ditetapkan sebagai UUD 45. Soekarno dan Hatta secara resmi diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. PPKI kemudian berubah nama menjadi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). KNIP ini adalah lembaga sementara yang bertugas sampai pemilu dilaksanakan. Pemerintahan Republik Indonesia yang baru, Kabinet Presidensial, mulai bertugas pada 31 Agustus.

2.3 Sistem Pemerintahan Tahun 1950-1959 (Pemerintahan Parlemen)

Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidentil menjadi parlemen. Dimana dalam sistem pemerintahan presidentil, presien memiki fungsi ganda, yaitu sebagai badan eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan legislatif. Era 1950-1959 ialah era dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.

Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.

Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.

Dewan Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.

Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante. Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini.

* 1950-1951 – Kabinet Natsir
* 1951-1952 – Kabinet Sukiman-Suwirjo
* 1952-1953 – Kabinet Wilopo
* 1953-1955 – Kabinet Ali Sastroamidjojo I
* 1955-1956 – Kabinet Burhanuddin Harahap
* 1956-1957 – Kabinet Ali Sastroamidjojo II
* 1957-1959 – Kabinet Djuanda

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Isi dari Dekrit Presiden tersebut ialah:

1. Pembentukan MPRS dan DPAS
2. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
3. Pembubaran Konstituante

2.4 Sistem Pemerintahan Tahun 1959-1968 (Demokrasi Terpimpin)

Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah Dekrit Presiden. Soekarno juga membubarkan Dewan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan “Kembali ke UUD’ 45″. Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.

Antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di “Suara Pemuda Indonesia”: Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalyon angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah “negara bebas”. Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk adat.

Era “Demokrasi Terpimpin”, yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
2.5 Sistem Pemerintahan Tahun 1968-1998 (Orde Baru)

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Pada 27 Maret 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB, dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat “dibuang” ke Pulau Buru. Sanksi non-kriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).

Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan “persatuan dan kesatuan bangsa”. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

* Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
* Sukses transmigrasi
* Sukses KB
* Sukses memerangi buta huruf
* Sukses swasembada pangan
* Pengangguran minimum
* Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
* Sukses Gerakan Wajib Belajar
* Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
* Sukses keamanan dalam negeri
* Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
* Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

* Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
* Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
* Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
* Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
* Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
* Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
* Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel
* Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program “Penembakan Misterius” (petrus)
* Tidak ada rencana suksesi

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
2.6 Sistem Pemerintahan Tahun 1998-Sekarang (Reformasi)

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.

Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”. Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.

Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.

Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

BAB III

PEMBAHASAN

Secara historis, demokrasi di Indonesia telah berkali-kali mengalami perubahan. Diharapkan hal ini bisa mewujudkan demokrasi berbau indonesia meski konsep dasar mengadopsi teori demokrasi luar. Selangkah-demi langkah, upaya penyematan demokrasi sebagai salah satu kerangka berpikir kenegaraan terus dilakukan. Berikut ini adalah salah satu analisis dialektik-historis pada penerapan demokrasi di Indonesia.

3.1 Demokrasi Parlementer : Pluralitas Pembawa Bencana

Setelah era paska kemerdekaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang masih “muda” mencoba menerapkan konsep demokrasi parlementer di dalam kehidupan politiknya. Meskipun model demokrasi ini hancur lebur sebelum diterapkan dengan baik dan utuh akibat dekrit presiden tanggal 5 juli 1959, ini adalah proses awal demokrasi pemerintahan dan kekuasaan di Indonesia. Isu sistem demokrasi parlementer yang menetapkan Presiden sebagai kepala Negara konstitusional dan menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik sebenarnya telah dilandaskan oleh Moh. Hatta beberapa bulan setelah proklamasi. Maklumat Wakil Presiden (Wapres) X pada 16 Oktober 1945 menyatakan bahwa pemerintah Indonesia harus membangun sistem banyak partai dan menggusur kekuasaan rangkap presiden (sebagai penguasa eksekutif dan legislatif sekaligus) sebelum MPR dan DPR dibentuk. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pun difungsikan sebagai lembaga legislatif.

Dualisme pemerintahan yang terjadi di Indonesia setelah kemerdekaan (antara Belanda dan Indonesia sendiri) mengakibatkan rumusan sistem pemerintahan masih belum jelas. Keputusan Konferensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda tentang perubahan Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) ditengarai sebagai proyek pemerintah Belanda agar bisa terus mengontrol Indonesia. RIS sendiri terdiri dari lima belas negara bagian buatan Belanda, yang telah didudukinya selama tiga tahun. Menurut Hatta, bangsa Indonesia tidak mempunyai kedaulatan penuh jika masih melakukan kompromi dengan belanda soal sistem pemerintahan. Sebagian besar pemimpin Indonesia sepakat bahwa kompromi dengan pihak belanda bertolak belakang dengan cita-cita proklamasi. Karena itu, kompromi tersebut sebenarnya adalah strategi untuk lepas dari rongrongan belanda yang menolak proklamasi kemerdekaan Indonesia. Karena dalam pandangan Hatta, bentuk negara federal RIS tidak akan bersifat permanen karena bentuk yang sesungguhnya akan ditentukan konstituante hasil pemilihan umum. Dan, konstituante itu pulalah yang nantinya bertugas menyusun konstitusi baru.

Namun ini berakibat fatal, tawaran sistem parlementer ternyata mengakibat semrawutnya pemerintahan karena elemen-elemen pemerintahan merasa mempunyai andil untuk mengatur Negara sehingga menjadi tidak jelas “siapa mengatur siapa”. Pemilu pertama tahun 1955 yang diharapkan menjadi tonggak demokrasi sebenarnya salah satu pemicu peralihan demokrasi menjadi ultrademokrasi yang menjurus anarkisme. Pluralitas dan multi-partai yang menjadi jargon demokrasi parlementer berujung pada pertarungan ideologis partai yang sangat berpengaruh di Indonesia. Pada waktu itu, kekuatan ideologis dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yakni Islam, Nasionalis dan Sosialis. PKI yang sebelumnya runtuh akibat pemberontakan Madiun 1948 bangkit dengan cepat, malah berafiliasi dengan pihak nasionalis untuk menghadapi partai-partai Islam yang dikhawatirkan mendirikan Negara Islam. Konflik antar partai tidak bisa dielakkan, ini juga membias pada elit-elit politik yang bercokol di pemerintahan. DPR dan Konstituante yang dilahirkan setelah pemilu 1955, juga membuat keadaan internal pemerintahan semakin buruk. Pertikaian antarmiliter, pergolakan daerah melawan pusat, inflasi ekonomi dan masa depan Indonesia menjadi suram. Akhirnya, pada tanggal 5 Juli 1959 Sukarno mengeluarkan dekrit presiden dan menyatakan Konstituante dibubarkan serta UUD ’45 diberlakukan lagi. Inilah awal kehancuran demokrasi parlementer di bumi pertiwi dan bermulanya sistem demokrasi terpimpin.

3.2 Demokrasi Terpimpin (Orde Lama): Konstruk Ideologi Sosialis

Secara sederhana, Demokrasi Terpimpin bercirikan dominasi penuh dari presiden, peranan partai politik yang terbatas, pengaruh komunis yang semakin berkembang dan peranan ABRI yang meluas sebagai unsur sosial politik. Demokrasi ini dinamakan Sukarno dengan Manipol-Usdek (UUD 1945, Sosialisme ala Islam, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Bermula dari kekecewaan Sukarno pada sistem demokrasi liberal yang cenderung pluralis dan menyebabkan konflik berkepanjangan oleh elit-elit politik yang berbeda haluan ideologis. Dan berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sistem politik mulai berganti dengan nama Demokrasi Terpimpin. Dengan membubarkan Dewan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Demokrasi terpimpin dapat dikatakan sebagai demokrasi kekeluargaan tanpa anarkisme, liberalisme dan otokrasi diktator yang mendasarkan sistem pemerintahan pada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan yang sepuh, seorang tetua dan mengayomi. Tetapi sistem ini jugalah yang menyebabkan sukarno bertikai dengan sejumlah tokoh-tokoh nasionalis semacam Hatta, Natsir dan Syahrir. Perpecahan di tubuh pemerintahan semakin terlihat kentara akibat pemberlakuan sistem baru demokrasi ini. Baik pihak militer dan pihak nasionalis mulai menyangsikan kepemimpinan model ‘terpimpin’ yang diandalkan Sukarno. Hatta menilai istilah Demokrasi Terpimpin ini adalah nama lain dari sistem diktator. Sukarno sebagai penguasa tunggal didukung oleh aliansi yang rapuh, partai-partai yang tergabung dalam konsep NASAKOM (Nasionalis-Agamis-Komunis). Mereka mendukung Sukarno semata-mata karena mengikuti kehendak penguasa.

Konsep ini digagas Sukarno Muda pada 1926 dalam tulisan pertamanya Indonesia Muda: Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Ia melihat bahwa nasionalisme dan Islam merupakan paham-paham yang kurang tajam untuk menganalisis keadaan, karena itulah dibutuhkan fundamen marxisme untuk menyokong dua ideologi tersebut untuk membangun Indonesia. Satu sisi, sikap diktatorial yang terbentuk di demokrasi terpimpin ini sekilas mirip dengan cara pandang Lenin, pemimpin Uni Soviet kala Sukarno masih muda, tetapi ia sendiri memilih untuk tidak menyamakannya. Lenin mencapai tujuannya melalui golongan masyarakat proletar, sementara Sukarno melihat kaum proletar masih lemah, karena itu ia ingin mencapai revolusinya dengan konsepsi rakyat ini. Menurut Sukarno, masyarakat terbagi bukan pada kelas sosial ekonomi tetapi ideologilah yang membagi masyarakat dalam kelompok-kelompok sehingga mereka layaknya kekuatan massa yang memiliki perbedaan. Ini menyebabkan timbulnya gagasan Sukarno untuk menggabungkan pemimpin-peminpin tersebut dalam persatuan.

PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi Nasakom. Tetapi kedekatan dengan PKI malah menjadi bumerang tersendiri. Merasanya ideologinya mendapat angin segar dari pemerintahan Sukarno, serta merta pihak PKI melakukan ideologisasi besar-besaran dan pemberontakan menuju Indonesia komunis. Sehingga bencana nasional berupa G30S 1965 terjadi dan mengakhiri pwemwerintahan Sukarno yang diktator dengan model ‘terpimpin’nya. Pada 12 Maret 1966, PKI dibubarkan dan kekuasaan Sukarno dilucuti dan digantikan oleh Soeharto. .

3.3 Demokrasi Pancasila (Orde Baru): Totalitas Militer

Melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mulai berkuasa dan memperkenalkan sistem politik barunya yang disebut dengan Demokrasi Pancasila. Pemerintahan yang sering disebut dengan orde baru ini, secara formil berlandaskan pada Pancasila, UUD 1945, dan Tap MPRS. Orde baru berencana merubah kehidupan sosial dan politik dengan landasan ideal Pancasila dan UUD 1945. Jadi secara tidak langsung, Sukarno dan Soeharto sama-sama berpedoman pada UUD 1945. Rancangan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) adalah salah satu program besarnya untuk mewujudkan itu. Tahapan yang dijalani orde baru adalah merumuskan dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi Negara, sehingga pancasila membudaya di masyarakat. Ideologi pancasila bersumber pada cara pandang integralistik yang mengutamakan gagasan tentang Negara yang bersifat persatuan. Sehingga pancasila diformalkan menjadi satu-satunya asas bagi organisasi kekuatan politik dan organisasi keagamaan-kemasyarakatan lainnya. Dan kesetiaan kepada ideologi-ideologi selain pancasila disamakan dengan tindakan subversi. Di era ini, kekuatan politik bergeser pada militer, teknokrasi dan birokrasi. Gagasan dan ide membutuhkan langkah praktis untuk menyeimbangkan dan keseimbangan. Dan ini tidak terjadi pada masa demokrasi pancasila. Ia hanya menjadi sebatas konsep besar yang tidak diterapkan dengan utuh. Buktinya masih banyak penyelewengan yang ironisnya berkedok demokrasi di dalam pemerintah. Bisa diuraikan, masa-masa ini adalah di mana Negara dan rakyat berhadap-hadapan dan pemerintah sangat mendominasi. Selama rezim orde baru berkuasa, demokrasi pancasila yang dicanangkan dalam pengertian normatif dan empirik tidak pernah sejalan. Ia hanya menjadi slogan kosong. Ia tidak lebih baik dari dua model demokrasi sebelumnya karena penerapannya yang jauh dari kenyataan berlawanan dengan tujuan demokrasi sendiri. Orde Baru justru menghambat dan membelenggu kebebasan rakyat. Ia tidak sejalan dengan esensi dan substansi demokrasi. Kekuasaan menjadi sentralistis pada kepemimpinan Soeharto. Demokrasi baginya hanyalah alat untuk mengkristalisasikan kekuasaannya. Soeharto kembali menghadirkan ‘demokrasi terpimpin kostitusional’ model baru dengan melandaskan ideologi pancasila sebagai dasar dan falsafah demokrasi.

Selama tiga dasawarsa, pemerintahannya menjadi rezim yang sangat kuat. Pemilihan Umum tidak lagi menjadi sentral demokratisasi di Negara. Meski telah diadakan selama enam kali di masa Soeharto, Pemilu sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai demokratis. Masih terjadi dominasi satu partai yang sebenarnya dikontrol dan dikelola oleh Soeharto yang kekuasaannya didukung penuh oleh militer. Tidak ubahnya yang terjadi adalah ‘demokrasi’ yang membunuh demokrasi.

3.4 Demokrasi Reformasi

Soeharto tumbang karena bersatunya sebagian besar masyarakat untuk menurunkan kepemimpinan Soeharto yang diselubungi oleh KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan kecelakaaan sejarah lainnya yang berhubungan dengan Soeharto. Praktis, sejak lengsernya Soeharto demokrasi pancasila menemui jalan buntu. Indonesia mengalami era transisi setelah kudeta kekuasaan oleh rakyat. Ini mengakibatkan aturan main politik tidak menentu bahkan atura main dipertarungkan secara sengit antarpelaku politik. Pada masa ini, kekuasaan terbagi-bagi dan masing-masing lembaga politik diperebutkan. Kekuasaan tidak lagi sentralistis dan tunggal seperti yang terjadi di era sukarno dan soeharto. Pemilu Umum 1999 di masa presiden BJ. Habibie diikuti oleh 47 partai. Dan hasil pemilu, hanya 21 partai yang mendapatkan kursi parlemen. Dominasi-dominasi kekuasaan mulai terjadi kala itu, beberapa partai berkoalisi untuk beroposisi melawan partai-partai yang lebih dominant. Puncaknya adalah terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden bukan Megawati yang sebelumnya mendapatkan dukungan terbanyak. Nasibnya pun tragis karena diturunkan oleh kalangan yang memilihnya menjadi presiden. Hingga pucuk pimpinan dipegang oleh Bambang Yudhoyono, politik kepentingan para elit kekuasaan kerap terjadi dan ironisnya nama rakyat dijadikan tameng dan landasan sementara mereka tidak tahu menahu atas permainan politik kaum atas.

3.5 Analisa Sistem Pemerintahan Indonesia

Demokrasi di Indonesia, sepintas dapat kita lihat bahwa yang kalah akan mengikuti yang menang. Inilah yang menjadi gambaran proses awal pemberlakuan sistem demokrasi pada awal mulanya. Dengan proklamasi pada 17 Agustus 1945, secara otomatis Indonesia menginginkan kedaulatan penuh sebagai Negara. Bangsa Indonesia yang masih prematur belum bisa menciptakan konsepsi kenegaraan yang baik sehingga ia mengadopsi kebudayaan yang sepenuhnya berasal dari luar. Demokrasi liberal atau parlementer adalah model demokrasi yang masih cukup banyak digunakan oleh Negara-negara maju. Konsep demokrasi terpimpin Soekarno juga hanya sebuah representasi dari sistem diktator proletariatnya Lenin yang bersikap Marxis-Leninisme. Meski pada suatu kesempatan ia menyanggahnya sebagai model demokrasi yang Indonesia. Akibatnya, konsepsi demokrasi hanya menyentuh kepala-kepala intelektual yang berkuasa tidak pada golongan mayoritas yang cenderung “bodoh dan dibodohi.”
Perbaikan sistem yang telah banyak ditawarkan untuk mengatasi problematika demokrasi Indonesia yang dipandang kebablasan menyisakan pertanyaan. “Kenapa tawaran-tawaran yang diberikan tidak pernah berhasil?”

Setidaknya ada empat factor kunci sukses atau gagalnya transisi demokrasi. Yaitu bergantung pada komposisi elit politik, desain institusi politik, kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik di kalangan elit dan non-elit dan peran civil society (Azumardi Azra, 2002). Realitas yang terjadi saat ini adalah sentralitas kuasa demokrasi yang lebih mengacu pada elit politik yang mempunyai kesempatan untuk berpolitik “demokratis”. Paradigma yang ada sama sekali tidak menyentuh ranah rakyat. Elit politik yang dijadikan perwakilan suara rakyat bermain di dalam kedaulatan dan pemerintahan yang melibatkkan kekuasaan. Kesannya, rakyat sering melakukan demontrasi sebagai wajah kebebasan dengan anarkisme dan kekerasan yang berlebihan, apalagi reaksi tersebut sering ditengarai sebagai upaya kontrol kekuasaan pada rakyat.
Makna kata demokrasi yang berasal dari bahasa Yunani itu berarti kekuasaan rakyat. Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kekuasaan Negara tidak terletak pada individu layaknya sistem monarki atau kelompok seperti sistem aristokrat melainkan di tangan rakyat. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Serupa dengan lontaran pernyataan Montesquieu (Malaka: 1945), fungsi pemerintahan dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, kekuatan legislatif untuk memuat undang-undang. Kedua, kekuatan eksekutif untuk menjalankan undang-undang dan terakhir adalah kekuatan judikatif, untuk mengawasi undang-undang. Memang pada dasarnya, demokrasi mencakup lima kriteria, persamaan hak pilih, partisipasi efektif, pembeberan kebenaran, kontrol dan pencakupan, dengan arti masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Dan unsur yang paling berperan untuk menentukan kriteria demokrasi di atas adalah rakyat. Sehingga perlu dibaca kembali segala yang berhubungan dengan rakyat. Demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah demokrasi perwakilan. Suara rakyat diwakili oleh seseorang yang telah dipilih oleh rakyat sendiri. Karena itu sangat rentan sekali intervensi kekuasaan dan dominasi penguasa di dalam proses pemilihan wakil rakyat yang berlangsung sewaktu Pemilihan Umum. Sejak pemberlakuan demokrasi parlementer hingga sekarang, dapat dilihat dengan cermat bahwa pertentangan dan pertikaian ideologis partai yang sama-sama memiliki suara dominan sangatlah kental dan ini berandil membawa anggota-anggotanya ikut serta bertikai. Sistem multi partai waktu itu menjadi titik awal bencana, tidak berbeda jauh dengan sistem tiga partai pada era demokrasi pancasila yang sangat mengotori kebebasan masyarakat. Rakyat sendiri terpecah menjadi beberapa golongan yang sama-sama memiliki kekuatan. Dikotomi kekuasaan dan kuantitas adalah kecenderungan yang masih menguasai alam demokrasi Indonesia. Stratifikasi sosial masyarakat masih membias dan bisa menjadi ancaman perilaku demokrasi Indonesia. Hal ini bisa dikaitkan dengan ideologisasi komunisme yang terjadi sebelum dan sesudah kemerdekaan. Masyarakat Indonesia kelas bawah sangat mudah digaet oleh gerakan-gerakan komunis yang mengedepankan ekonomi sosialistik dan antitesa kapitalisme. Kaum Islam juga gampang ditarik ke kancah politik oleh mereka yang mengaku sebagai anggota partai Islam, seperti Masyumi. Sehingga kesimpulan yang didapat, masyarakat Indonesia, sangat mudah dipelintir dan dipermainkan oleh kekuasaan. Kebutuhan dan ketergantungan mereka menjadi alat penting mobilisasi rakyat yang akhirnya cenderung anarkis. Rakyat hanya akan menjadi alat perlawanan yang mengikuti pucuk pimpinan wadah atau institusi yang diikuti. Akhirnya, pemerintahan dikuasai oleh sistem “yang kuat yang menang” yang akan mengakibatkan suara-suara minoritas yang menginginkan perbaikan menjadi tertindas.

Dan sekarang, munculnya era reformasi, yang ditandai dengan runtuhnya rezim otoritas Soeharto dan adanya pemilihan umum tahun 1999. Dan tepat pada tanggal 21 Mei mendatang, genap sudah 10 tahun bangsa Indonesia menjalani sistem pemerintah seperti ini. Namun, sudah sekian lama reformasi dijalankan, masih belum tampak adanya perubahan mendasar pada berbagai bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti ekonomi, hukum dan politik. Selain itu, agenda reformasi 1998 pun masih belum tersentuh, seperti penghapusan dwi fungsi TNI, dan proses pengadilan Soeharto. Selain itu, pada sektor ekonomi sekarang ini terlihat semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang sulit mendapatkan pekerjaan karena kurang seriusnya pemerintah dalam melakukan program kebijakan perekenomian yang mendukung sektor real yaitu usaha kecil menengah

Selama sistem reformasi ini pulalah, sudah hampir empat kali amandemen UUD 1945 telah mengubah sendi-sendi hukum Indonesia. Melalu amandemen UUD 1945, terbentuk Mahkamah Konstitusi, lembaga tersebut telah memberikan ruang bagi warga negara menguji peraturan yang merugikan hak konstitusional mereka. Legislasi juga telah menghasilkan ratusan undang-undang baru, yang berusaha memberikan kepastian hukum untuk semua rakyat Indonesia. Pembentukan Komisi Yudisial juga memberikan ruang bagi pengawasan hakim. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai hasil reformasi juga berhasil menangkapi para koruptor. Namun, pada sisi lain, pemberantasan korupsi berkesan antiklimaks. Ditangkap dan dijebloskannya para koruptor ke penjara tak bisa menghilangkan kesan tebang pilih. Mereka yang ditangkap rata-rata koruptor yang tidak memiliki basis ekonomi dan politik kuat. Implementasi hukum dalam praktiknya hanya untuk kepentingan elite politik dan golongan tertentu. Kondisi demikian diperparah intervensi kekuasaan dan politik ke wilayah hukum. Sebagai contoh, ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan presiden Soeharto, peradilan pelanggaran hak asasi manusia, dan peradilan para konglomerat hitam. Kendala lainnya tugas dan peran KPK terbesar saat ini adalah soal pembuktian. Susahnya membuktikan sebuah kasus membuat KPK dituding tebang pilih. Secara umum KPK bekerja dengan dasar laporan masyarakat yang dianggap sangat mendesak dan menyedot perhatian publik, seperti kasus korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum

Agenda reformasi 1998 juga masih menyisahkan permasalahan terutama mengenai pencabutan dwifungsi TNI. Sampai sekarang, setelah 4 periode perubahan kepemimpinan mulai dari BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri bahkan Susilo Bambang Yudhoyono belum terlihat adanya perubahan reposisi militer secara substantif

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sistem pemerintahan negara yang didasarkan dalam undang-undang dasar 1945 adalah:

1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechsstaat)
2. Sistem konstitusional
3. Kekuasaan negara tertinggi ditangan majelis permusyawaratan rakyat
4. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi dibawah majelis
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
6. Menteri negara adalah pembantu presiden
7. Kekuasaan kepala negara
8. Tidak tak terbatas
9. Kedudukan DPR adalah kuat
10. Menteri – menteri negara bukan pegawai tinggi biasa

Dengan proklamasi pada 17 Agustus 1945, secara otomatis Indonesia menginginkan kedaulatan penuh sebagai Negara. Bangsa Indonesia yang masih prematur belum bisa menciptakan konsepsi kenegaraan yang baik sehingga ia mengadopsi kebudayaan yang sepenuhnya berasal dari luar. Demokrasi liberal atau parlementer adalah model demokrasi yang masih cukup banyak digunakan oleh Negara-negara maju. Konsep demokrasi terpimpin Soekarno juga hanya sebuah representasi dari sistem diktator proletariatnya Lenin yang bersikap Marxis-Leninisme. Perbaikan sistem yang telah banyak ditawarkan untuk mengatasi problematika demokrasi Indonesia yang dipandang kebablasan.

Setidaknya ada empat factor kunci sukses atau gagalnya transisi demokrasi. Yaitu bergantung pada komposisi elit politik, desain institusi politik, kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik di kalangan elit dan non-elit dan peran civil society (Azumardi Azra, 2002). Realitas yang terjadi saat ini adalah sentralitas kuasa demokrasi yang lebih mengacu pada elit politik yang mempunyai kesempatan untuk berpolitik “demokratis”.

4.2 Saran

Sudah saatnya, kita bersama-sama bergerak untuk mencapai angan demokrasi yang telah dicita-citakan oleh para pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh Indonesia. Unsur-unsur demokrasi yang kadang menjadi akar permasalahan harus bisa diselesaikan dan diperbaiki, karena konsep demokrasi bukan hak paten yang tidak bisa dirubah. Ia harus bersifat dinamis dan bisa mengikuti kultur sosial-politik-budaya Negara yang menggunakannya sebagai asas Negara. Usaha perubahan tersebut sebenarnya telah sering dilakukan dan sayangnya malah menjadi ancaman bukan kenyamanan. Rakyat perlu diperkuat kembali bahwa mereka bukan alat kekuasaan yang dengan mudah diatur ke sana ke mari. Elit penguasa dan rakyat harus bisa bekerja sama selama tujuan demokrasi menjadi patokan utama bernegara yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281959-1968%29
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281998-sekarang%29
3. http://209.85.175.104/search?q=cache:

Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia

Peristiwa-Peristiwa Penting Sekitar Proklamasi Kemerdekaan dan Sambutan Rakyat Indonesia
Dalam rangka menarik simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia untuk tetap mendukung jepang yang saat itu terdesak oleh sekutu, maka pada tanggal 9 Agustus 1945, Marsekal Terauchi, Panglima Besar tentara jepang di Asia Tenggara memanggil soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat ke Dalat, Vietnam. Ia menyampaikan keputusan pemerintah jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Seharusnya pertemuan ini merupakan moment penting ke arah kemerdekaan tetapi malah menjadi pemicu perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda.
Dengan adanya peristiwa pemboman kota Hiroshima pada 8 agustus 1945 dan kota Nagasaki pada 9 agustus 1945 dan disusulnya peristiwa penyerahan jepang kepada sekutu yang meskipun ditutup-tutupi namun terdengar juga oleh pemuda-pemuda melalui siaran radio, hal ini memicu tekad para pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan dan pada tanggal 15 Agustus 1945 di ruang belakang gedung Bakteriologi Jalan Pegangsaan Timur no.13, jakarta para pemuda mengadakan pertemuan yang dipimpin oleh Chaerul Saleh. Hasil rapat memutuskan bahwa Proklamasi kemerdekaan Indonesia harus dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri tanpa gangguan bangsa lain sehingga Wikana dan Darwis diutus untuk menyampaikan hasil rapat tadi kepada Ir.Soekarno dan Moh.Hatta tapi hasil rapat tersebut ditolak dengan pertimbangan untuk menghindari bentrok senjata dengan Jepang yang saat itu masih memiliki senjata lengkap dan harus menjaga status quo sebelum pasukan sekutu datamg ke Indonesia. Selain itu Ir.Soekarno dan Moh.Hatta harus membicarakan hal ini dengan anggota PPKI lainnya. Hal ini mengecewakan para pemuda sehingga Syudanco Singgih dan rekan-rekannya dari PETA yang juga didampingi Sukarni dan Yusuf Kunto diutus untuk mengamankan Ir.Soekarno dan Moh.Hatta ke Rengasdengklok dimana didaerah itu dilatarbelakangi oleh laut jawa sehingga jika Jepang menyerang, mereka dapat segera pergi dari laut dan di sekitar daerah itu (Purwakarta, Cilamaya (barat), Kedung Gedeh (selatan), dan Bekasi (timur)) telah bersipa pasukan PETA untuk menjaga segala kemungkinan. Sesampai disana, Soekarno-Hatta tetap tidak bersedia untuk memproklamasikan kemerdekaan sebelum ada surat pernyataan resmi dari Jepang. Namun, setelah mendengar bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu dari Mr.Ahmad Subardjo, maka Soekarno-Hatta bersedia melakukannya.
Sekitar pukul 02.00 Soekarno-Hatta tiba dijakarta dan atas usaha Mr.Ahmad Subardjo diperolehlah sebuah tempat untuk merumuskan teks proklamasi yaitu di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, Wakil Komandan Angkatan Laut Jepang di Jakarta yang terletak di Jalan Imam Bonjol No.1 Jakarta Pusat dimana tempat ini dianggap paling aman dari ancaman pemerintah militer. Setelah selesai dirumuskan, Soekarno membacakannya dihadapan pemuda yang ada disana dan Moh.Hatta mengusulkan agar semua yang hadir menandatanganinya seperti pada naskah Declaration of Independence namun usul ini ditentang oleh kaum pemuda dan Sukarni mengusulkan agar naskah tersebut ditandatangani oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia dan usul ini diterima oleh semua pihak dan kemudian naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik dengan berbagai perbaikan dan kemudian ditandatangani oleh Soekarno-Hatta. Selanjutnya Sukarni mengusulkan agar proklamasi kemerdekaan dilaksanakan di Lapangan Ikada namun usul ini ditolak karena menurut soekarno lokasi tersebut dapat menimbulkan bentrokan antara rakyat dan pihak militer jepang dan beliau mengusulkan agar pelaksanaannya dilaksanakan di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta dan saran ini diterima oleh semua pihak. Hari itu hari Jumat menjelang pukul 10.00 WIB tokoh-tokoh telah hadir di tempat upacara dan tepat pada pukul 10.00 diadakan Upacara Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang diawali dengan pembacaan teks proklamasi diikuti pengibaran bendera merah putih ( oleh S.Suhud dan Syudanco Latief Hendraningrat ) dan sambutan Wali Kota Jakarta Suwirjo dan Dr.Muwardi. Dengan ini secara de facto berakhirlah penjajahan bangsa Belanda atas Bangsa Indonesia.
Para pemuda menggunakan semua alat komunikasi untuk menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan Indonesia baik melalui pamflet-pamflet, radio, pengeras suara, pawai mobil, pers, dan surat selebaran. Berita ini beranting disebarluaskan keluar kota Jakarta. Pada 20 Agustus 1945 pemancar radio disegel oleh Jepang namun para pemuda tidak kehilangan akal, mereka merakit pemancar baru dengan kode panggilan DJK 1 dari sinilah berita proklamasi terus disiarkan. selain itu penyebaran berita ke luar pulau jawa juga dilakukan melalui beberapa gubernur yang menjadi anggota dalam sidang PPKI sedangkan pemberitaan ke luar negeri dilakukan melalui kantor berita Domei. Para pemuda yang dulu tergabung dalam Heiho, Peta, dan KNIL bergabung membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan melucuti senjata pasukan-pasukan Jepang di berbagai daerah.
Berita ini diterima dengan sukacita karena proklamasi ini memiliki arti yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia, dengan proklamasi bangsa Indonesia dihantarkan ke gerbang kemerdekaan yang berarti mencapai kehidupan baru, kehidupan yang bebas tanpa tekanan dan ikatan.

II. Pembentukan Badan-Badan Kelengkapan Negara
Setelah proklamasi dikumandangkan, esok harinya yaitu 18 Agustus 1945, Ppki mengadakan sidang untuk pertama kalinya yang menjadi kelanjutan sidang BPUPKI pada 10-16 Juli 1945 yang membahas rancangan Undang-Undang Dasar Negara RI. Hasil sidang ini adalah :
1. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia;
2. Memilih Ir. Soekarno sebagai presiden dan Drs.Moh.Hatta sebagai wakil presiden Republik Indonesia;
3. Membentuk sebuah Komite Nasional untuk membantu Presiden selama MPR dan DPR belum terbentuk.
Pada Minggu, 19 Agustus 1945, PPKI melanjutkan sidangnya yang dipimpin oleh Otto Iskandarnita yang menghasilkan dua keputusan mengenai :
1. Pembagian wilayah yang terdiri atas delapan provinsi beserta calon gubernurnya
2. Pembentukan Komite Nasional Daerah.
Rapat PPKI dilanjutkan pada 22 Agustus 1945 yang berlokasi di Gedung Kebaktian Rakyat Jawa. Rapat kali ini diadakan untuk membahas tiga masalah utama yang dipimpin oleh wakil presiden Republik Indonesia serta menghasilkan keputusan sebagai berikut :
1. Komite Nasional Indonesia (KNI) adalah badan yang berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pemilihan umum diselenggarakan dan disusun dari tingkat pusat hingga daerah;
2. Partai Nasional Indonesia (PNI) dirancang sebagai partai tunggal RI, namun akhirnya dibatalkan;
3. Badan Keamanan Rakyat (BKR) berfungsi sebagai penjaga keamanan umum bagi masing-masing daerah.
Pada 23 Agustus 1945 presiden Soekarno mengumumkan hasil sidang PPKI tersebut tetapi keputusan yang menyangkut ketetapan kedua yaitu PNI sebagai satu-satunya partai politik, tidak jadi diberlakukan.

· Komite Nasional Indonesia
Setelah membentuk KNI pada 18 Agustus 1945, PPKI kembali membentuk KNIP pada 22 Agustus 1945 yang berpusat di Jakarta. Badan yang diketuai oleh Mr.Kasman Singodimedjo ini diumumkan pada 25 Agustus 1945 dan dilantik pada 29 Agustus 1945. untuk tingkat daerah dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang berada di seluruh provinsi di Indonesia dan badan ini berkembang sebagai badan legislatif. Pada 16 Oktober 1945 KNI menyelenggarakan sidangnya yang pertama yang menghasilkan :
1. Membentuk Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) yang beranggota 15 orang;
2. Mengusulkan kepada presiden supaya KNI diberi kekuasaan Legislatif selama MPR/DPR belum terbentuk.
Usul Komite Nasional tersebut mendapat sambutan dari pemerintah yang segera mengeluarkan maklumat wakil presiden No.X yang isinya sesuai dengan usulan KNIP.
Setelah BPKNIP terbentuk, kegiatan pertama yang dilakukannya adalah mengajukan usulan kepada pemerintah untuk segera membentuk pertai-partai politik. Usul tersebut dilakukan melalui pengumuman BPKNIP No.3 tanggal 30 Oktober 1945 dengan dasar pertimbangan sebagai berikut :
1. BPKNIP menganggap roda pemerintahan telah berputar maka telah tiba saatnya untuk megusahakan pengertian rakyat;
2. Dalam rangka menegakkan asas demokrasi, BPKNIP tidak setuju dengan keputusan PPKI tentang pembentukan hanya satu partai politik.
Usul BPKNIP tentang penolakan pembentukan partai politik diterima oleh pemerintah yang kemudian mengeluarkan maklumat pemerintah No.3 pada 30 Oktober 1945 yang isinya :
1. Pemerintah menghendaki adanya partai-partai politik, karena akan membuka jalan bagi semua aliran atau paham yang ada dalam masyarakat.
2. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun sebelum dilaksanakan pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946.
Segera setelah maklumat politik itu lahir partai-partai politik baru antara lain adalah Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Katolik, Partai Kristen dan Partai Sosialis.

· Kabinet Republik Indonesia
Pembentukan 12 kementerian dalam kabinet dan pembagian wilayah Indonesia menjadi 8 provinsi seperti yang diputuskan dalam sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945, direalisasikan pada 2 September 1945. Adapun susunan kabinet pertama Republik Indonesia sebagai berikut:
Susunan kabinet pertama Republik Indonesia
1. Menteri Dalam Negeri R.A.A.Wiranatakusumah
2. Menteri Luar Negeri Mr.Ahmad Subardjo
3. Menteri Keuangan Mr.A.A.Maramis
4. Menteri Kehakiman Prof. Dr. Mr. Supomo
5. Menteri Kemakmuran Ir. Surachman Tjokroadisurjo
6. Menteri Keamanan Rakyat Supriyadi
7. Menteri Pengajaran Ki Hajar Dewantara
8. Menteri Penerangan Mr. Amir Syarifudin
9. Menteri Kesehatan Dr. Buntaran Martoatmodjo
10. Menteri Sosial Mr. Iwa Kusuma Sumantri
11. Menteri Pekerjaan Umum Abikusno Tjokrosujoso
12. Menteri Perhubungan ad interim Abikusno Tjokrosujoso
13. Menteri Negara Wachid Hasyim
14. Menteri Negara Mr. R.M.Sartono
15. Menteri Negara Dr. Mr. Amir
16. Menteri Negara Otto Iskandardinata

Kabinet tersebut merupakan kabinet presidensil yang bertanggung jawab kepada presiden yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan tugasnya adalah membantu presiden menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan amanat UUD 1945.

· Pembagian Wilayah Provinsi
Menindaklanjuti keputusan PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 tentang pembagian wilayah, maka panitia kecil yang terdiri dari Mr.Ahmad Subardjo, Sutardjo Kartohadikusumo, dan Mr. Kasman Singodomedjo, membentuk departemen dan membagi wilayah Indonesia atas 8 provinsi hasilnya adalah sebagai berikut :
Sumatera Teuku Mohammad Hasan
Jawa Barat Sutardjo Kartohadikusumo
Jawa Tengah R. Pandji Suroso
Jawa Timur R.M. Surjo
Nusa Tenggara I Gusti Ketut Pudja
Maluku Mr.J. Latuharhary
Sulawesi Dr. G.S.S.J. Ratulangi
Kalimantan Ir. Pangeran Moh. Noor

· Pembentukan Badan-Badan Perjuangan
Sebagai realisasi keputusan PPKI tanggal 22 Agustus 1945, presiden menganjurkan para pemuda yang dahulunya pernah tergabung dalam anggota Heiho, Peta, Seinendan, Keibodan, dan KNIL untuk segera bergabung dan membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) baik ditingkat pusat maupun daerah. Berikut adalah susunan pengurus BKR pusat :
Ketua Umum Kaprawi
Ketua I Sutalaksana
Ketua II Latief Hendraningrat
Anggota Arifin Abdurahman, Mahmud, dan Zulkifi Lubis

Pembentukan BKR ternyata tidak semulus yang diduga, banyak tokoh-tokoh pemuda yang telah membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri yang lepas dari BKR antara lain adalah Barisan Rakyat Indonesia (BARA), Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Banteng (BB), Hizbullah, Sabilillah, Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Pemuda Indonesia Maluku (PIM), Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), dan Pemuda Sosialis Indonesia (pesindo).

· Pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Kedatangan NICA mengakibatkan terjadinya beberapa bentrokan senjata. Kondisi seperti ini mendorong pemerintah untuk segera membentuk sebuah tentara nasional agar perjuangan kemerdekaan dapat dikendalikan.
Pada 5 Oktober 1945, melalui media massa, radio, dan surat kabar, pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sehingga TKR menjadi wadah resmi dalam bidang pertahanan militer. Oleh karena itu, seluruh laskar rakyat diwajibkan bergabung dengan TKR. Pada tanggal 6 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pengangkatan Supriyadi yang dikenal sebagai pemimpin pemberontakam Peta terhadap pemerintah, sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Tetapi karena sampai batas waktu yang ditentukan Supriyadi tidak diketahui nasibnya sementara keadaan sudah ssemakin gawat sehingga M. Suljoadikusumo ditunjuk sebagai penggantinya sebagaimana diumumkan pemerintah pada 20 Oktober 1945.


III. Kondisi Kehidupan Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya pada Awal Kemerdekaan
· Kehidupan Politik
Dengan diperkenalkannya sistem politik multipartai, tidak dengan sendirinya menciptakan tatanan politik yang demokratis seperti yang diharapkan semula. Sebaliknya yang terjadi adalah meningkatnya perebutan kepentingan golongan dalam partai-partai politik. Pembentukan partai-partai politik yang mulanya dimaksudkan untuk menyalurkan aspirasi rakyat melalui partai politik malah dimanfaatkan oleh politisi sebagai ajang perebutan kursi atau jabatan. Akibatnya adalah sering bergantinya kabinet-kabinet dalam pemerintahan karena dijatuhkan oleh perlemen (KNIP). Selama kurun waktu 1945-1949, di Indonesia tercatat pergantian kabinet ministeril sebanyak 7 kali dengan 4 perdana menteri yang berbeda, yaitu Syahrir (kabinet 1,2, dan 3), Amir Syarifudin (kabinet 4 dan 5), dan Drs. Moh. Hatta (kabinet 6 dan 7).
· Kehidupan Ekonomi
Pada akhir masa kedudukan Jepang dan awal kemerdekaan, perekonomian Indonesia mengalami kelumpuhan karena beberapa faktor yang terjadi sebelumnya, diantaranya adalah :
a. Pengurasan berbagai kekayaan alam dan hasil bumi oleh pemerintah pendudukan Belanda dan Jepang;
b. Tenaga kerja usia produktif dijadikan romusha oleh Jepang;
c. Lahan-lahan ditanami tanaman yang sesuai dengan kepentingan Jepang;
d. Banyak pertempuran melawan pemerintah pendudukan Jepang;
e. Hiper Inflasi akibat peredaran mata uang Jepang yang kosong;
f. Pajak-pajak dan bea masuk yang menjadi andalan turun drastis, sementara pengeluaran pemerintah bertambah besar.
Belum lagi kedatangan belanda dengan NICA yang membuat keadaan bertambah rumit. Belanda melakukan blokade laut arus keluar masuknya perdagangan RI, yang dimulai pada awal November 1945. adapun alasan pemblokadean ekonomi Indonesia oleh Belanda adalah :
a. Barang-barang milik Republik yang dihasilkan dihancurkan dan dibumihanguskan dengantujuan Indonesia mengalami inflasi yang tidak terkendali dan timbul kekacauan sehingga rakyat tidak percaya pada pemerintah;
b. Agar rimbul keadaan sosial ekonomi Indonesia yang buruk dan kekurangan bahan-bahan impor yang sangat dibutuhkan;
c. Menciptakan kekacauan dalam masyarakat sehingga masyarakat tidak percaya lagi pada pemerintah Indonesia;
d. Mencegah masuknya senjata dan perlengkapan militer dari luar negeri ke Indonesia
e. Mencegah dikeluarkan dan dijualnya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya kepada bangsa asing selain Belanda;
f. Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan atau perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh bangsa asing lain selain bangsa Belanda.
Selain itu, uang yang berlaku di Indonesia sebagai alat transaksi terdiri atas tiga jenis yaitu De Javasche Bank, Uang pemerintah Belanda, dan Uang pemerintah pendudukan Jepang.
Untuk mengatasi masalah ini maka pemerintah melakukan beberapa upaya untuk memperbaiki perekonomian Indonesia pada waktu itu dengan :
a. Memberlakukan Oeang Republik Indonesia (ORI) untuk mengganti mata uang Jepang sejak Oktober 1946;
b. Dalam rangka mengawasi distribusi uang yang beredar, menstabilkan nilai tukar, dan hal-hal yang berkaitan dengan bidang moneter, pemerintah mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI '46) pada 1 November 1946;
c. Melakukan pinjaman lunak yang dilakukan oleh menteri keuangan Ir. Surachman atas persetujuan Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) sebesar Rp.1.000.000.000,00;
d. Membuka perwakilan dagang resmi di Singapura sejak tahun 1947 yang diberi nama Indonesia Office (Indoff);
e. Mengadakan hubungan dagang dengan para pengusaha AS yang dirintis oleh badan semi pemerintah yang bernama Banking and Trading Corporation (BTC) dibawah pimpinan Dr. Soemitro Djojohadikusumo
Melihat situasi ekonomi nasional yang sulit, pemerintah kemudian menyelenggarakan konferensi ekonomi pada Februari 1946 membahas cara-cara untuk memperbaiki keadaan perekonomian nasional. Adapun pembahasan konferensi difokuskan kepada tiga hal, yaitu :
a. Peningkatan produksi dan distribusi bahan makanan;
b.Pembahasan masalah sandang;
c. Penataan administrasi perkebunan milik asing.
Selain itu dibentuk Badan Pengawasan Makanan Rakyat (BMPR) yang kemudian menjadi Badan Persediaan dan Pembagian Bahan Makanan (BPPBM) yang merupakan cikal bakal dari Badan Urusan Logistik (BULOG) sekarang. Disamping itu juga dibentuk Badan Perencanaan Ekonomi dan Planning Board.
Perencanaan ekonomi tersebut sesuai dengan program rekontruksi dan rasionalisasi (Rera) angkatan perang 1948. maksudnya, untuk mengurangi beban negara dalam bidang ekonomi dan efisiensi angkatan perang. Program ini tidaka terlaksana karena kondisi politik yang tidak stabil dan terjadinya Agresi Militer Belanda II.

· Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya mengalami perubahan dengan berbagai masalah yang dihadapinya. Pada masa kolonial, status warga adalah warga terjajah dan harus tunduk pada politik diskriminasi rasial, ekonomi dan politik. Secara politis dan sosial budaya, kemerdekaan telah berhasil menghapuskan diskriminasi terhadap segenap warga negara. Kemerdekaan yang telah diraih secara politik, tidak dengan sendirinya menjamin warga untuk dapat memperoleh dan menegakkan kemerdekaan, dan bebas dari diskriminasi diri.
Di bidang pendidikan, pemerintah membuka berbagai sekolah bagi seluruh lapisan masyarakat, baik sekolah umum maupun pendidikan luar sekolah, seperti kursus-kursus dan pelathan. Selain itu pendidikan juga menekankan pada sistem sekolah kerja, aktivitas dan kreativitas, hal ini diterapkan di Perguruan Taman Siswa.
Bahasa Indonesia sejak kemerdekaan mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena sejak saat itu bahasa Indonesia telah diresmikan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Perkembangan bahasa Indonesia seiring dengan perkembangan seni sastra Indonesia yang ditandai dengan munculnya para sastrawan terkemuka di tanah air seperti H.B. Jassin, Rosihan Anwar, Chairil Anwar dan Idrus, yang terkabung dalam Angkatan Pujangga Baru dan Angkatan ’45. Persoalan-persoalan zaman dan kemasyarakatan dari suatu kurun waktu tertentu berpengaruh dan amat menentukan pemilihan tema-tema yang diungkapkan para sastrawan.
Di bidang seni rupa didirikan wadah bagi para pelukis seperti Pelukis Indonesia (PI) dan Akademis Seni Rupa Indonesia (ASRI). Di bidang perfilman, didirikan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) pimpinan Usmar Ismail dan Persatuan Artis Republik Indonesia (Persani) pimpinan Djamaluddin Malik.
Di bidang pers, terutama media surat kabar, berkembang dengan pesat. Surat-surat kabar yang terbit di daerah pendudukan Belanda, setelah Belanda kembali dengan membonceng sekutu, pada umumnya menunjukkan sikap yang Republikan dan anti Belanda. Beberapa surat kabar yang menunjukkan Republikan antara lain Kedaulatan Rakyat, Merdeka dan Hidup. Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai radio resmi pemerintah, telah digunakan oleh penyiarnya sebagai sarana komunikasi untuk memberitakan berbagai aktivitas perjuangan rakyat ke dalam dan ke luar negeri.


IV. Upaya Perjuangan Rakyat dan Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia
1. Pertempuran-Pertempuran Mempertahankan Kemerdekaan
Dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia melakukan perjuangan bersenjata dan diplomasi. Adapun pertempuran-pertempuran yang terjadi di Indonesia antara lain :
· Insiden Bendera
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 19 september 1945 di Surabaya pada Hotel Yamato, dimana beberapa orang Belanda mengibarkan bendera mera-putih-biru. Hal ini dianggap para pemuda sebagai sebuah penghinaan dan para pemuda menyerbu hotel tersebut dan merobek bendera Belanda pada bagian warna biru sementara bagian merah-putihnya dinaikkan kembali.
· Pertempuran Semarang
Pertempuran ini terjadi dari tanggal 15 sampai 20 Oktober 1945 di semarang dan lebih dikenal dengan pertempuran lima hari di Semarang. Insiden terjadi ketika tawanan tentara Jepang yang berasal dari penjara Cipinang, Jakarta hendak dipindahkan ke Semarang untuk dipekerjakan merubah pabrik gula menjadi pabrik senjata sehingga para pemuda memberontak kepada polisi yang memindahkan tawanan tersebut. Sebanyak 2000 rakyat Indonesia dan 100 orang Jepang tewas dalam pertempuran ini.
· Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan suatu rangkaian peristiwa dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, yaitu usaha bangsa Indonesia mengusir penjajah Jepang yang masih tetap bercokol dan memiliki senjata lengkap. Perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang tersebut dimulai sejak September 1945.
Pada 25 Oktober 1945, Brigade 49, pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn, bagian dari Divisi India ke-23 tentara Sekutu (Allied Forces Netherlands East Indies atau AFNEI) mendarat di kota Surabaya, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Tugasnya adalah melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan interniran Sekutu yang berada di Indonesia. Kedatangan mereka diterima dengan enggan oleh Gubernur R.M.T.A. Soeryo. Akhirnya, diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah Republik Indonesia dengan Brigadir Jenderal Mallaby. Pertemuan itu menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain,
1) Sekutu berjanji bahwa di antara mereka tidak terdapat angkatan perang Belanda;
2) Disetujui kerjasama antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan;
3) Akan segera dibentuk Kontrak Biro agar kerjasama dapat terlaksana sebaik-baiknya;
4) Sekutu hanya akan melucuti senjata Jepang.
Berdasarkan kesepakatan tersebut, pihak RI merasa tidak curiga atas kedatangan mereka. Oleh karena itu, pasukan Sekutu diperbolehkan memasuki kota oleh pihak RI, dengan syarat hanya objek-objek yang sesuai dengan tugasnya yang boleh diduduki seperti kamp-kamp tawanan.
Ternyata sikap baik Sekutu yang terlihat dari hasil perundingan tersebut hanya merupakan taktik imperialis untuk menguasai kembali bekas jajahannya. Setelah itu, pihak Sekutu mengingkari janjinya, pada 26 Oktober 1945, malam hari, satu peleton dari Field Security Section dibawah pimpinan Kapten Shaw, melakukan penyerangan ke penjara Kalisosok untuk membebaskan seorang kolonel Angkatan Laut Belanda yang bernama Kolonel Huiyer bersama tawanan-tawanan lainnya. Kemudian, keesokan harinya pasukan Sekutu yang sebagian besar terdiri dari tentara Inggris melanjutkan penyerangannya dengan menduduki Pangkalan Udara, Pelabuhan Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek-objek vital lainnya di Surabaya.
Tindakan pelanggaran lainnya yang dilakukan Sekutu, yaitu pada 27 Oktober 1945, mereka menyebarkan pamflet-pamflet yang berisi perintah kepada rakyat Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan senjata yang dirampas dari Jepang. Kemudian pemerintah RI memerintahkan para pemudaSurabaya dan jawa Timur untuk siaga menghadapi segala kemungkinan.
Tindakan tidak konsisten dari Sekutu semakin menjadi, pada 27 Oktober 1945 pukul 14.00, terjadi kontak senjata yang pertama antara pihak pemuda Surabaya dengan Sekutu. Kontak senjata ini kemudian meluas dan berlangsung selama dua hari.
Pada 29 Oktober 1945, para pemuda dapat kembali merebut objek-objek vital di kota Surabaya. Pada 31 Oktober 1945 Presiden Soekarno, Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta dan Amir Syarifudin datang ke Surabaya bersama dengan Jenderal D.C. Howthorn. Mereka kemudian berunding dengan Mallaby dan menghasilkan keputuskan menghentikan kontak senjata.
Walaupun telah disepakati tidak akan ada lagi pertempuran, di beberapa tempat masih terjadi kontak senjata. Ketika Kontak Biro mengunjungiGedung Bank Internatio di jembatan Merah, di sana terjadi isiden, gerung ini masih diduduki oleh pasukan Inggris. Pemuda-pemuda yang terdiri dari TKR dan laskar menuntut agar pasukan Mallaby menyerah, tetapi tuntutan tersebut ditolah, kemudian segera terjadi kontak senjata yang lebih besar dan berakhir dengan terbunuhnya Mallaby.
Selanjutnya, Inggris mengirimkan pasukan dalam jumlah besar dibawah pimpinan Mayor Jenderal E.C Manserg. Pada 7 November, Manserg megirimkan surat kepada Gubernur Soeryo yag berisi ancaman untuk menduduki kota Surabaya. Ultimatum tersebut ditolak oleh Gubernur Soeryo yang kemudian diikuti dengan meletusnya pertempuran baru yang sangat besar. Dalam pertempuran itu ribuan pejuang Indonesia gugur dan lainnya mengungsi ke kota lain. Surabaya pada akhirnya berhasil dipertahankan oleh para pemuda yang bertahan selama tiga minggu, sebelum akhirnya jatuh ke tangan Inggris. Peristiwa yang terjadi pada 10 November 1945 ini sering diperingati sebagai Hari Pahlawan.
· Pertempuran Ambarawa
Pertempuran ini terjadi pada 15 desember 1945 antara TKR dan laskar-laskar melawan pasukan Inggris pimpinan Brigadir Jenderal Bethel. Latar belakangnya adalah kedatangan tentara Inggris ke Indonesia untuk mengurus tawanan perang yang berada di Ambarawa dan Magelang, tetapi diboncengi oleh NICA (Netherland Indies Civil Administration). Kedaan ini menyebabkan pecahnya insiden di Magelang, pertempuran antara TKR dan Sekutu. Kemudian Presiden Soekarno dan Bethel melakukan perundingan di Surabaya dengan menghasilkan keputusan antara lain penempatan pasukan Sekutu di Magelang dan tidak diakuinya aktifitas NICA di kota tersebut.
Tetapi, pihak Sekutu mengingkari janji, pasukan NICA yang masih berkeliaran di Magelang dibiarkan oleh Sekutu. Asukan TKR dibawah pimpinan Mayor Sumarto menyerang pasukan Sekutu di Ambarawa.
Dilihat dari strategi militer, pertempuran di Ambarawa mempunyai arti penting. Dengan diusirnya pasukan Inggris dari daerah tersebut maka kedudukan TKR di kota Solo, Magelang, dan Yogyakarta dapat diamankan. Sementara dilihat dari segi revolusi kemerdekaan, pertempuran tersebut telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia ingin mempertahankan kedaulatannya dari penjajahan.
· Pertempuran Medan Area
Di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly, pasukan Sekutu yang diboncengi oleh NICA mendarat di kota Medan pada 9 Oktober 1945. Sehari setelah mendarat, Sekutu mendatangi kamp-kamp tawanan atas persetujuan Gubernur Sumatra Teuku Mohamad Hasan. Ketika melihat salah seorang bekas tawanan perang Jepang menginjak-injak lencana merah putih, rasa nasionalisme para pemuda semakin membara. Mereka mulai menyerang dan merusak sebuah hotel pada 13 Oktober 1945 yang kemudian memancing insiden-insiden lainnya. Para pemuda mulai menunjukan sikap ketidaksukaannya kepada pihak imperialis. Sejak saat itu Sekutu berusaha menguasai kota Medan dengan berbagai cara seperti melakukan aksi “pembersihan” tehadap unsur-unsur RI yang berada di kota Medan. Para pemuda TKR membalas aksi tersebut dengan menggagalkan pasukan Inggris dan NICA untuk menghancurkan konsentrasi TKR di Trepes.
Pasukn Sekutu dibawah pimpinan Kelly kembali mengancam pemuda agar menyerahkan senjata mereka, akhirnya para pemuda harus meninggalkan daerah Medan Area sejak 10 April 1945, beberapa kantor pemerintahan harus pindah ke Pematang Siantar. Pada 10 Agustus 1946 para pemuda mengadakan pertemuan di Tebing Tinggi untuk menyatukan komando-komando pasukan yang berjuang di medan Area. Di bawah “ Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area”, mereka meneruskan perjuangan di medan area. Peristiwa Medan Area telah menunjukkan kepada seluruh bangsa Indonesia dan pihak imperialis bahwa bangsa Indonesia yang telah memperoleh kedaulatan tidak ingin dijajah kembali oleh imperialis Barat. Kemerdekaan harus tetap dipertahankan.
· Bandung Lautan Api
Pada 21 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama agar kota Bndung begian utara selambat-lambatnya pada 29 November 1945 dikosongkan oleh pihak Indonesia dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Engan ultinatum tersebut pihak Sekutu secara sepihak membagi kota Bndung menjadi dua dengan jalan kereta api yang membentang dari timur ke barat menjadi batasnya. Wilayah Bandung Utara hanya boleh dihuni oleh warga Belanda dan pasukan Sekutu, sedangkan Bandung Selatan untuk penduduk pribumi. Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh para pejuang Bandung. Sejak saat itu sering terjadi berbagai pertempuran yang memakan korban harta maupun jiwa dengan tentara Sekutu.
Pada 23 Maret 1946, Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum supaya para pejuang Bandung mundur sejauh 11 km dari batas rel kereta api. Pemerintah RI di Jakarta memerintahkan agar para pejuang menuruti ultimatum tersebut dan harus segera mengosongkan kota Bandung. Sementara itu, dari Markas Besar TRI di Yogyakarta turun perintah untuk tetap mempertahankan kota Bandung sampai titik darah penghabisan.
Akhirnya, para pejuang Bandung mematuhi perintah dari Jakarta walaupun dengan berat hati. Sambil meninggalkan Bandung, para pejuang melancarkan serangan umum ke arah tempat kedudukan Sekutu dan membumi hangus tempat-tempat strategis di seluruh kota yang mungkin akan diduduki oleh NICA. Peristiwa ini juga diikuti dengan pengungsian warga Bandung ke daerah luar Bandung yang lebih aman. Peristiwa yang berlangsung pada 23 Maret 1946 tersebut dikenal sebagai “Bandung Lautan Api”.
· Puputan Margarana
Peristiwa Puputan Margarana diawali ketika Letkol I Gusti Ngurah Rai menolak bekerjasama dengan Belanda untuk mendukung pembentukan Negara Indonesia Timur yang mencakup Bali. Penolakan ini dinilai Belanda tidak beralasan karena Bali sudah dianggap wilayah Belanda sebagaimana hasil Perjanjian Linggajati. Ngurah Rai sendiri tetap menolak apapun alasannya, kemudian ia pergi ke Yogyakarta untuk mendapatkan petunjuk dari Pemimpin RI. Setelah mendapat penjelasan bahwa daerahnya termasuk kekuasaan Belanda, walaupun merasa kecewa, ia tetap pada pendiriannya semula, yakni tidak akan bekerja sama dengan pihak Belanda.
Ketika merasa kekuatannya sudah cukup, I Gusti Ngurah Rai dan pasukan-pasukannya pada 18 November 1946 mulai menyerang Belanda. Tabanan digempur dan dia berhasil dengan menyerahnya satu detasemen polisi lengkap dengan senjatanya. Belanda kemudian mengerahkan seluruh kekuatannya yang ada di Bali dan Lombok lengkap dengan pesawat terbang untuk menghadapi pasukan I Gusti Ngurah Rai.
Karena kekuatan pasukan yang tidak seimbang dan persenjataan yang kurang lengkap, akhirnya pasukan I Gusti Ngurah Rai dapat dikalahkan dalam pertempuran puputan atau habis-habisan di Margarana, sebelah utara Tabanan. I gusti Ngurah Rai beserta seluruh pasukannya gugur.

2. Perjuangan Awal Diplomasi
Pada awalnya, kedatangan Sekutu di Indonesia disambut dengan sikap terbuka. Namun setelah diketahui bahwa pasukan Sekutu diboncengi orang-orang NICA yang hendak menegakkan kembali kekuasaan kolonial Belanda, sikap Indonesia berubah menjagi curiga dan kemudian bermusuhan. Situasi memburuk setelah NICA mempersenjatai kembali bekas KNIL yang baru dibebaskan dari tahanan Jepang. Bentrokan bersenjata dengan para pejuang dari berbagai wilayah tidak bias dihindarkan lagi.
Sementara itu, Komandan AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) Letjen Sir Philip Christison menyadari bahwa Sekutu tidak akan berhasil menjalankan tugasnya, seperti penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang dan membebaskan para tahanan perang dengan baik tanpa adanya bantuan Pemerintah RI. Itulah sebabnya terjadi perundingan-perundingan :
a. Pertemuan Jakarta
Perundingan pertama antara Indonesia dengan Belanda untuk menyelesaikan persengketaan di antara keduanya, terjadi pada 17 November 1945. Delegasi Indonesia diwakili oleh PM. Sutan Syahrir, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh van Mook, dan Jenderal Christison sebagai penengah.
Pada awal perundingan, van Mook menyampaikan pernyataan pemerintah Belanda yang berisi pidato dari Ratu Wilhelmina pada 7 Desember 1942 yang isinya :
1.Negara Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di lingkungan Kerajaan Belanda.
2.Urusan yang menyangkut dalam negeri akan diurus oleh Indonesia, sedangkan urusan luar negeri menjadi hak pemerintah Belanda.
3.Sebelum dibentuk Commonwealth, akan dibentuk pemerintahan peralihan selama 10 tahun.
Pada 12 Maret 1946, pemerintah Indonesia secara resmi menyampaikan pernyataan balasan kepada pihak Belanda sebagai berikut :
1.Negara Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas jajahan Hindia-Belanda.
2.Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu dengan urusan luar negeri dan pemerintahan daerah diserahkan pada badan federasi yang anggotanya terdiri dari gabungan orang Indonesia dan Belanda.
3.Seluruh tentara Belanda harus segera ditarik dari wilayah Indonesia dan jika perlu kedudukannya digantikan oleh Tentara Indonesia.
4.Selama perundingan-perundingan berlangsung, semua aksi militer harus dihentikan dan pihak RI akan melakukan pengawasan terhadap pengungsian tawanan Belanda dan interniran Sekutu lainnya.
Sekalipun Perundingan Jakarta gagal, namun dalam perundingan tersebut Indonesia telah menunjukkan sebagai sebuah bangsa yang sejajar dengan Belanda dan Inggris. Hal ini sangat bermanfaat dalam perundingan-perundingan berikutnya.
b. Pertemuan Hooge Veluwe
Pertemuan RI-Belanda selanjutnya dilaksanakan di Hooge Veluwe, Belenda pada 14-24 April 1946. Diplomat Inggris Sir Archibald Clark bertindak sebagai penengah.
Perundingan ini mengalami kegagalan kembali karena kedua belah pihak masih tetap pada tuntutannya. Pada perundingan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Mr. A.K. Pringgodigdo dan Dr. Sudarsono, sedang dari pihak Belanda diwakili oleh van Mook. Tuntutan Indonesia antara lain pengakuan Belanda secara de facto atas Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera. Namun, Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah pemerintahan RI atas awa dan Madura. Itu pun atas desakan Inggris kepada Belanda, sebab Belanda menginginkan terbentuknya Uni Indonesia-Belanda.
c. Perundingan Jakarta
Karena perundingan RI-Belanda belum mencapai kesepakatan, diplomat Inggris untuk Asia Tenggara Lord Killearn, berinisiatif melanjutkan perundingan damai mempertemukan wakil bangsa Indonesia dan Belanda di meja perundingan yang bertempat di kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta pada 7 Oktober 1946. Delegasi Indonesia diwakili oleh PM. Utan Syahrir, sedangkan pihak Belanda oleh Prof. Schermerhorn.
Perundingan tersebut mencapai 3 keputusan penting, yaitu :
1.Diadakannya gencatan senjata antara RI dan Belanda.
2.Dibentuk komisi bersama gencatan senjata untuk menangani masalah gencatan senjata dan teknis pelaksanaannya.
3.Disepakati bahwa RI dan Belanda harus segara melaksanakan perundingan secepat mungkin.
d. Perundingan Linggajati
Perundingan Linggajati dilaksanakan pada 10 November 1946 di Kuningan, Jawa Barat sebagai tindak lanjut kesepakatan perundingan Jakarta 7 Oktober 1946. Setelah berjalan selama 4 hari dicapailah kesepakatan sebagai berikut :
a. Belanda mengakui RI secara de facto atas wilayah Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera. Belanda harus sudah meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1946.
b.RI dan Belanda sepakat akan bekerja sama membentuk Negara Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) yang salah satu bagiannya adalah Negara Republik Indonesia.
c. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda (Commonwealth) dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Hasil perundingan tersebut ternyata merupakan benih pertikaian lebih lanjut antara kedua belah pihak. Setelah naskah tersebut ditandatangani, muncul pro dan kontra dalam masyarakat Indonesia sendiri.
Pro dan kontra diantara politisi menimbulkan dua golongan, yaitu golongan Sayap Kiri yang mendukung hasil Linggajati dan golongan Banteng Republik yang menentang hasil Linggajati.
Golongan Banteng Republik tidak percaya lagi kepada Kabinet Syahrir yang bertanggung jawab atas penandatanganan persetujuan Linggajati. Mosi tidak percaya dari kelompok Banteng Republik tersebut akhirnya menjatuhkan Kabinet Syahrir. Syahrir kemudian menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 27 Juni 1947. Prediden Soekarno membentuk kabinet baru yang dipimpin oleh Amir Syarifudin pada 3 Juli 1947.

3. Agresi Militer Belanda I
Belanda mengerahkan pasukan ke Jakarta dan Bandung pada 21 juli 1947 dengan tujuan untuk menduduki Jawa Barat dan daerah-daerah strategis lainnya di Jawa seperti Surabaya dan Madura. Dengan cara ini akhirnya Belanda menguasai semua pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa. Demikian juga dengan daerah-daerah lainnya di Sumatera. Menghadapi situasi demikian, pasukan RI terus bertahan dan sekali-kali melakukan penyerangan secara gerilya.
Serangan Belanda tersebut mendapat kecaman dari seluruh dunia. Pada 31 Juli 1947, Dewan Keamanan PBB menerima resolusi dari India dan Australia yang meminta agar antara Pemerintah RI dan Belanda segera mengadakan gencatan senjata dan perundingan.
Untuk mengawasi gencatan senjata tersebut, PBB membentuk komisi konsuler. Pada 25 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB menerima putusan dari PBB yang berisi :
a. Para konsul asing di Jakarta supaya membuat laporan mengenai keadaan terakhir Indonesia.
b. Membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang bertugas memberikan masukan dan saran-saran dalam menyelesaikan pertikaian Indonesia dan Belanda.
Hasil sidang kabinet pada 6 September 1948, memutuskan bahwa Australia telah ditunjuk sebagai perwakilan Indonesia dalam Goodwill Commission, sedangkan Belanda memilih Belgia. Selanjutnya Australia dan Belgia memilih Amerika Serikat sebagai negara ketiga. Delegasi Australia diwakili Richard Kirby, Belgia oleh Paul Van Zeeland, dan Amerika oleh Dr. Frank B. Graham.

4. Perundingan Renville
Perundingan dilaksanakan pada 8 Desember 1947 di atas kapal milik Amerika Serikat, yaitu kapal USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin, sedangkan delegasi belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda.
Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 yang isinya :
a. Persetujuan gencatan senjata yang terdiri atas 10 pasal.
b. Enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan mempercepat penyelesaian politik yang isinya sebagai berikut :
1) Belanda tetap memegang kedaulatanm atas seluruh wilayah Indonesia, sampai kedaulatan diserahkan kepada RIS yang akan segera dibentuk.
2) Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat mengerahkan sebagian dari kekuasaannya pada suatu pemerintahan federal sementara.
3) RIS sebagai negara merdeka dan berdaulat sederajat dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai Kepala Uni.
4) RI merupakan bagian dari RIS
5) Akan diadakan plebisit di wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera untuk menentukan masuk RI atau RIS.
6) Dalam waktu 6 bulan-1 tahun diadakan pemilihan umum untuk membetuk Dewan Konstitusi RIS.
c. Dua belas pasal atau prinsip politik, termasuk tiga hal pokok hasil perjanjian Linggajati.
Hasil perjanjian Renville menimbulkan pro dan konra di kalangan politisi nasional maupun pejuang. Partai politik besar pendukung Kabinet Amir Syarifudin, yaitu PNI dan Masyumi mengundurkan diri dari Kabinet karena kecewa terhadap ditandatanganinya perjanjian Renville. Kerugian nyata yang diderita pemerintahan RI adalah semakin sempitnya wilayah Indonesia, dan kedudukannya semakin terdesak. Akibatnya Kabinet Amir Syarifudin tidak mendapat kepercayaan dan jatuh. Ia kemudian menyerhkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 29 Januari 1948.

5. Pemberontakan PKI Madiun
a. Proses Pemberontakan
Ditengah-tengah suasana kemelut yang berlarut-larut akibat perjanjian Renville dan blokade ekonomi yang dijalankan Belanda, PKI di bawah pimpinan Muso melancarkan pemberontakan di Madiun pada 18 September 1948.
Kedudukan PKI Muso memang kuat karena didukung oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), pimpinan Amir Syarifudin (bekas perdana menteri), yang merupakan hasil gabungan beberapa partai, antara lai Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh, dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), sayap militer PSI yang memiliki persenataan cukup lengkap.
Diawali di Solo, PKI mulai melancarkan aksi-aksinya. Insiden pertama mulai terjadi pada 13-16 September 1948, antara pasukan Siliwangi dengan Tentara Laut pimpinan Letkol Yadau yang terpengaruh komunis. Kemudian, pada 14 September 1948, Pesindo menyerang Barisan Banteng di Solo, karena Dr.Muwardi, komandan Barisan Banteng, menolak bergabung degan kekuatan komunis.
Pada 18 September 1948, Kolonel Sumarsono yang berhaluan komunis memprolakmasikan berdirinya Negara Sovyet Republik Indonesia di Madiun. Ia mendapat dukungan dari Pasukan Brigade 29. Pemberontakan pada pukul 02.00 di hari tersebut dimulai dengan memusatkan sasaran pada markas CPM Siliwangi yang terletak di jalan Dr.Cipto, Madiun sehingga mengakibatkan gugurnya seorang Mayor CPM.
b. Upaya Penumpasan
Dalam upaya menumpas PKI Madiun, pemerintah RI mengangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer untuk daerah Solo, Madiun, Pati, dan Semarang Angkatan Perang RI dikerahkan termasuk Divisi Siliwangi yang baru tiba hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah di bawah pimpinan Sadikin dan Kusno Utomo (Brigade Sadikin dan Brigade Kusno). Operasi tersebut dipimpin oleh kolonel Sungkono dan pelaksananya ditunjuk Mayor Yonosewoyo. Jalannya operasi dilakukan dari tiga jurusan:
· Batalyon Sarbini Mokhtar dan Muyajin bergerak melalui Trenggalek menyerbu Ponorogo yang merupakan konsentrasi pasukan PKI Muso.
· Batalyon gabungan dipimpin Mayor Baharudin bergerak melalui Sawahan, Dungus terus ke Madiun.
· Batalyon Sudaryadi dibantu Brigade Mobil Polisi Jawa Timur bergerak melalui kota Wilangan, Saradan, Terus ke Madiun.
Kemudian Batalyon A.Kosasih dan Batalyon Kemal Idris didatangkan dari Yogyakarta bergerak ke arah utara dengan sasaran Pati. Batalyon Daeng bergerak ke arah utara dengan target sasaran Cepu dan Blora. Batalyon Ahmad Wiranatakusumah bergerak ke selatan dengan sasaran Ponorogo dan Batalyon Darsono langsung bergerak ke Madiun. Batalyon Kusno Utomo bertugas khusus mengamankan daerah Solo, Pati, dan Semarang yang terdiri atas Batalyon Kemal Idris dan Batalyon A.Kosasih dibantu Batalyon Suryo Sumpeno
Luasnya daerah pemberontakan dapat terlihat dari tempat-tempat basis PKI yang direbut kembali oleh pasukan Siliwangi, antara lain Sarangan dan Walikukun (25 September), Ngrambe dan Magetan (26 September), Parakan (27 September), Madiun dan Wonogiri (30 September), Dungus dan Ponorogo (2 Oktober), Cepu (8 Oktober), Pacitan (15 Oktober), dan Kudus (21 Oktober).
Pada Desember 1948, gembong PKI, yaitu Amir Syarifudin, Suripno, Maruto Darusman, Haryono, Abdul Majid, beserta sejumlah pengikutnya menyerahkan diri pada pasukan Siliwangi, adapun Muso berhasil ditembak mati oleh TNI di Ponorogo pada 31 Oktober 1948.
Setelah pemberontakan selesai, 35.000 orang pengikut Muso ditangkap, sementara diperkirakan sekitar 8.000 orang menjadi korban peristiwa tersebut.
Beberapa tokoh PKI yang tertangkap lalu diajukan ke pengadilan. Sejumlah tokoh dijatuhi hukuman mati karena kejahatannya yang telah membantai rakyat diluar perikemanusiaan. Tidak sedikit pejabat TNI dan prajuritnya yang terlibat sehingga bisa diadudombakan dengan TNI yang setia kepada pemerintah.
6. Agresi Militer Belanda II
Suasana perundingan melalui penengah KTN pada awal Desember 1948 mulai menemui jalan buntu. Pada tanggal 11 Desember 1948, Belanda mengatakan bahwa tidak mungkinlagi dicapai persetujuan antara kedua belah pihak. Empat hari kemudian Wakil Presiden Mohammad Hatta minta KTN untuk mengatur perundingan dengan Belanda, tetapi Belanda menjawab pada tanggal 18 Desember 1948, pukul 23:00 malam, bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan Persetujuan Renville. Lewat tengah malam atau tanggal 19 Desember 1948 pagi, tentara Belanda diterjunkan di lapangan terbang Maguwo, yang dikenal dengan istilah Aksi Militer Belanda II (2nd Dutch Military Action). Reaksi internasional atas serangan Belanda terhadap Republik pada tanggal 19 Desember 1948 sangat keras. Negara-negara Asia, Timur Tengah dan Australia mengutuk serangan itu dan memboikot Belanda dengan cara menutu lapangan terbang mereka bagi pesawat Belanda. Dalam sidangnya pada tanggal 22 Desember 1948 Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian tembak menembak kepada tentara Belanda dan Republik. Atas usul India dan Birma, Konferensi Asia mengenai Indonesia diadakan di New Delhi pada tanggal 20 Desember 1949. Amerika Serikat, Kuba, dan Norwegia mendesak Dewan Keamanan untuk membuat resolusi yang mengharuskan dilanjutkannya perundingan.

7. Persetujuan Roem-Royen
Sementara itu tanggal 23 Maret 1949 KTN yang diminta Dewan Keamanan PBB agar membantu kedua belah pihak untuk melakukan perundingan berdasarkan resolusi tanggal 28 Januari 1949, telah tiba di Jakarta. Dua hari kemudian delegasi Republik yang dipimpin Mr. Mohammad Roem bertemu dengan delegasi Belanda dibawah Van Royen di Hotel Des Indes, Jakarta. Merle Cochran dari KTN bertindak sebagai penengah.
Perundingan berjalan alot, sehingga memerlukan kehadiran Mohammad Hatta dari Bangka dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta. Setelah hampir tiga minggu berunding, maka pada tanggal 7 Mei 1949 kedua delegasi sepakat untuk mengeluarkan pernyataan masing-masing pihak, yang kemudian dikenal sebagai Pernyataan Roem-Royen (Roem-Royen Statement). Masalah terpenting dari penyataan itu adalah kesediaan Belanda untuk mengembalikan Pemerintah Republik ke Yogyakarta.

8. Konferensi Inter Indonesia
Delegasi RI ke Konferensi Inter Indonesia terbentuk tanggal 18 Juli 1949 dipimpin oleh Wakil Presiden/PM Mohammad Hatta. Sedangkan delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid dari Pontianak dan Anak Agung dari NIT. Konferensi berlangsung yang dari tanggal 20 Juli hingga 22 Juli 1949 menyepakati bahwa Negara Indonesia Serikat akan diberi nama Republik Indonesia Serikat. Merah Putih adalah bendera kebangsaan, lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya, bahasa Nasional adalah Bahasa Indonesia dan 17 Agustus adalah Hari Kemerdekaan.
Setelah Konferensi Yogya, diteruskan dengan Konferensi Inter Indonesia II yang dimulai sejak 31 Juli s/d 2 Agustus 1949 bertempat di Gedung Pejambon, Jakarta. Pada pertemuan ini disepakati pembentukan Panita Persiapan Nasional yang bertugas menyelenggarakan suasana tertib sebelum dan sesudah berlangsungnya Konferensi Meja Bundar. Diputuskan juga draf awal UUD Republik Indonesia Serikat yang akan dibicarakan dalam KMB.

9. Konferensi Meja Bundar
Tanggal 4 Agustus 1949 Presiden Soekarno mengangkat delegasi Republik Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar yang dipimpin oleh Mohammad Hatta. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid dari Pontianak, dan Delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. J.H. van Maarseveen. Konferensi yang berlangsung dari tanggal 23 Agustus 1949 hingga 2 November 1949 ini diikuti pula oleh UNCI.
Pada hakekatnya KMB menghasilkan tiga isu utama persetujuan, yakni:
Piagam Penyerahan Kedaulatan
Piagam Uni-Nederland dengan lampiran persetujuan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia Serikat
Persetujuan Peralihan/Perpindahan yang memuat peraturan-peraturan yang bertalian dengan penyerahan kedaulatan
Disamping itu juga dibahas masalah-masalah bilateral dan domestik yang serius. Semua hutang bekas Hindia Belanda menjadi tanggung jawab nagara Indonesia Serikat. De Javaansche Bank tetap diakui sebagai Bank Sentral. Intergrasi KNIL ke dalam TNI. Masalah Irian Barat akan dibiarkan untuk sementra, yakni "satu tahun".
Pelaksanaan KMB terus dipantau oleh Badan Pekerja KNIP. Pada tanggal 23 Oktober 1949 Badan Pekerja KNIP telah menerima keterangan pemerintah mengenai pembicaraan dalam sidang-sidang KMB yang disampaikan oleh Wakil Perdana Menteri Sri Sultan Hamengkubuono IX.
Hal lengkap KMB disampaikan Perdana Menteri Mohammad Hatta pada Sidang Pleno KNIP tanggal 6 hingga 15 Desember 1949. KNIP menerima hasil KMB dengan 226 setuju, 62 tidak setuju, dan 31 suara blangko. PErsetujuan KNIP itu diberikan dalam dua bentuk, yakni sebuah maklumat dan dua buah undang-undang. Maklumat KNIP diumumkan Presiden RI pada tanggal 14 Desember 1949, berisi tentang negara Repbulik Indonesia Serikat memegang kedaulatan atas seluruh wilayah; dan bahwa alat perlengkapan RI disumbangkan kepada RIS untuk menegakkan kedaulatannya.

Sebagai realisasi dari keputusan KMB dibentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS). Ir. Soekarno sebagai Presiden RIS dilantik pada 17 Desember 1949, Mr. Asaat sebagai Presiden RI, Drs. Moh. Hatta sebagai perdana menteri RIS, Mr. Sartono sebagai ketua DPR RIS. Pemerintah RI berkedudukan di Yogyakarta, sedangkan RIS berkedudukan di Jakarta.
Selain dipilihnya Ir. Sukarno sebagai Presiden RIS, akan dibentuk pula pembentukan formatus untuk membantu tugas-tugas Presiden Sukarno sebagai Presiden RIS terpilih. Formatus tersebut dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta yang bertugas membentuk kabinet.
Pada 28 Desember 1949, Presiden Ir. Sukarno beserta staf meninggalkan Yogyakarta menuju Jakarta sebagai ibu kota RIS dan siap melaksanakan tugas baru sebagai Kepala Pemerintahan RIS.
Negara RIS resmi berdiri pada 27 Desember 1949 dan wilayahnya meliputi:
· Negara bagian yang meliputi Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra, Negara Sumatra Timur, dan Republik Indonesia
· Satuan-satuan kenegaraan yang meliputi Jawa Tengah, Bangka, Banjar, Riau, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, Daerah Istimewa, Kalimantan Barat
· Daerah Swapraja yang meliputi kota Waringin, Sabang dan Padang
Negara-negara bagian yang hendak bersatu dalam Republik Indonesia banyak yang ingin memisahkan diri dari RIS. Hal ini dibuktikan dari banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh komponen-komponen masyarakat di negara-negara bagian tersebut yang meminta penggabungan dengan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu pemerintah RIS dengan persetujuan DPR dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang darurat no.11 tahun 1950 pada 8 Maret 1950. Isinya mengatur tentang cara perubahan susunan kenegaraan RIS. Dengan adanya Undang-Undang darurat ini, banyak negara bagian RIS yang menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia di Yogyakarta.


V. Perjuangan Kembali Ke Negara Kesatuan
Dalam waktu kurang dari setahun pamor RIS di mata masyarakat jatuh dan desakan untuk kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi semakin banyak. Atas usul pemerintah RI, Presiden Sukarno kemudian mengadakan pendekatan dengan Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur. Setelah memperoleh kekuasaan dari Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatra Timur Presiden Sukarno mengadakan perundingan dengan wakil-wakil RI pada Mei 1950 untuk mengadakan pembentukan NKRI selanjutnya pada 19 Mei 1950, wakil-wakil RI dan RIS sepakat membentuk kembali NKRI dan dituangkan dalam piagam persetujuan dan negara persatuan ini menggunakan UUD baru yang merupakan revisi UUD 1945 dan UUD RIS yang disebut dengan UUD sementara. Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan UUD sementara NKRI yang sebelumnya rancangan UUDS telah disahkan oleh BPKNIP RI di Yogyakarta pada 12 Agustus 1950. Pada 15 Agustus 1950 diselenggarakan rapat gabungan antara Parlemen RI-RIS di Jakarta. Dalam kesempatan itu Presiden Sukarno membacakan Piagam terbentuknya NKRI yang disetujui oleh anggota sidang. NKRI dinyatakan secara resmi berdiri pada 17 Agustus 1950 dengan menggunakan UUDS 1950.